Menu

Mode Gelap
Budi Arie Bertemu Jokowi Usai Reshuffle, Ini yang Dibahas Tertutup Selama 1 Jam Pesantren: Warisan Agung dan Tantangan Zaman Kasus Pertamina Patra Niaga: Kuasa Hukum Ingatkan Agar Penegakan Hukum Tak Kriminalisasi Kontrak Bisnis Kapolri Minta Gojek dan Grab Tambah Tombol Darurat: Kalau Ada Kejahatan, Ojol Siap Jadi Avengers Jalanan iPhone Fold: Ketika Apple Akhirnya Melipat Egonya (dan Ponselnya Sekalian) Kutukan Gua Andulan: Rumah Arwah yang Tak Pernah Tidur

Kolom Angker

Kutukan Gua Andulan: Rumah Arwah yang Tak Pernah Tidur

badge-check


					Foto ilustrasi: Istimewa Perbesar

Foto ilustrasi: Istimewa

KOLOM ANGKER – Saat matahari meredup, udara di sana terasa berbeda berat, lembab, seperti menahan sesuatu yang tak terlihat.

Dan di tengah hutan yang pekat, di antara suara serangga yang mendadak hilang tanpa sebab, berdirilah sebuah lubang gelap menganga di kaki bukit:

Gua Andulan.

Orang-orang tua di desa tak pernah menyebutnya sembarangan.

Mereka percaya, gua itu adalah perut bumi tempat roh leluhur beristirahat.

Bukan gua biasa, tapi gerbang menuju dunia yang tak lagi mengenal cahaya matahari.

Di dalamnya tersimpan tulang-tulang nenek moyang, peti tua berbalut kain putih yang sudah menguning, dan benda-benda pusaka yang konon masih “bernapas”.

Dan setiap kali ada orang baru datang, selalu terdengar peringatan lirih dari para tetua:

“Jangan masuk ke Gua Andulan.

Jangan sentuh apa pun.

Karena mereka tidak tidur… mereka hanya menunggu.”

Parang Tua dan Pemuda Sombong

Dulu, ada seorang pemuda pendatang  keras kepala dan tak percaya takhayul.

Ia mendengar cerita Gua Andulan dari warga dan malah menantang: “Kalau memang ada arwah di sana, biar mereka menemuiku sendiri.”

Malam itu, ia masuk ke gua hanya dengan membawa senter dan keberanian buta.

Langkahnya menggema, disambut bau tanah basah dan udara yang kian dingin.

Dari dinding gua terdengar suara tetesan air… tik… tik… tik…

Tapi lama-kelamaan, suara itu berubah menjadi langkah  pelan, berirama, mengikuti geraknya dari belakang.

Ia menoleh. Tak ada siapa pun.

Di ujung lorong, senter menangkap pantulan logam: sebilah parang tua tertancap di batu.

Besi itu berkarat, namun entah kenapa terasa hangat di genggamannya, seolah hidup.

Ia tertawa, mengantongi parang itu, lalu keluar tanpa menoleh lagi.

Tapi malamnya…

tidak ada lagi tawa.

Saat ia rebah di tempat tidur, angin berputar di dalam kamar meski jendela tertutup.

Lampu padam sendiri.

Dan dari pojok ruangan, terdengar napas berat seseorang panjang, pelan, teratur.

Kemudian bisikan itu datang.

Suara serak, seperti keluar dari tenggorokan yang kering terbakar:

“Kembalikan… milik… kami…”

Ia menjerit, tapi suaranya tak keluar.

Matanya terbuka, tapi tubuhnya tak bisa bergerak.

Dari langit-langit, tetesan air jatuh ke wajahnya tapi saat diusap, itu bukan air… melainkan darah.

Tiga hari kemudian, pemuda itu kembali ke desa dengan mata kosong dan kulit pucat seperti mayat.

Ia menyerahkan parang itu sambil menangis dan memohon ampun.

Begitu parang diletakkan di tanah, angin berhenti, hutan terdiam.

Dan ketika warga menoleh… pemuda itu sudah tidak ada.

Hanya tanah lembab yang masih hangat di tempatnya berdiri.

Malam Para Penantang

Bertahun kemudian, sekelompok anak muda datang ke sana.

Mereka tertawa keras, membuat video, dan menantang kutukan gua.

Salah satu dari mereka bahkan menulis di dinding batu:

“Kami datang tanpa takut.”

Begitu tulisan selesai, udara langsung berubah.

Senter mereka berkedip.

Satu per satu padam, hingga hanya tersisa kegelapan total.

Dari dalam gua terdengar suara langkah kaki banyak orang, seperti barisan yang bergerak perlahan.

Lalu muncul aroma dupa terbakar  disusul bau busuk daging hangus.

Salah satu dari mereka pingsan, tubuhnya kaku seperti ditarik sesuatu yang tak terlihat.

Yang lain berlari keluar, tapi arah jalan berubah-ubah.

Setiap mereka berlari ke kanan, gua muncul lagi di depan mereka.

Saat subuh tiba, hanya satu yang ditemukan warga tergeletak di pinggir sungai, mata terbuka lebar, mulutnya penuh tanah.

Di tangannya masih tergenggam batu kecil bertuliskan huruf-huruf tua yang tak bisa dibaca.

Namun dari sela jari, tampak goresan jelas:

“Andulan tidak suka tamu.”

Sejak malam itu, tak ada lagi yang berani mendekati gua.

Setiap orang yang lewat hutan itu mengaku mendengar suara gamelan samar, atau bisikan lirih memanggil nama mereka dari kegelapan.

Beberapa bahkan melihat bayangan sosok-sosok tua menunduk di pintu gua, seolah mengawasi siapa yang berani mendekat.

Penduduk setempat percaya, Gua Andulan bukan sekadar tempat roh leluhur.

Ia adalah penjara suci, dan penjaganya tidak mengenal ampun bagi siapa pun yang berani mengusik.

Karena mereka tidak mati.

Mereka hanya diam.

Menunggu… sampai ada yang kembali membuka pintu.

Penulis : Ris Tanto | Editor : Ivan


Disclaimer: Tulisan ini bersifat fiktif dan terinspirasi dari cerita rakyat serta legenda urban di masyarakat. PRABA INSIGHT senantiasa menjunjung nilai jurnalistik berimbang dan menyajikan informasi yang dapat dipercaya.

Baca Lainnya

Tumbal Terakhir dari Desa yang Tak Ada di Peta

23 Oktober 2025 - 13:58 WIB

Leak Penyeneng: Cinta yang Menyala dari Api Neraka

16 Oktober 2025 - 17:52 WIB

Bus Malam Terakhir: Tiket Sekali Jalan ke Dunia Arwah

9 Oktober 2025 - 16:11 WIB

URBAN LEGEND: Teror Kuyang di Tanah Kalimantan

2 Oktober 2025 - 17:55 WIB

Bis Terakhir Menuju Kegelapan

2 Oktober 2025 - 17:44 WIB

Trending di Kolom Angker