PRABA INSIGHT – Setelah sekian lama bergentayangan di ruang-ruang digital dan ruang kelas tanpa Wi-Fi, kasus dugaan korupsi pengadaan laptop untuk pendidikan akhirnya mulai menyasar ke petinggi utamanya: mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim.
penyidik dari Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung dijadwalkan akan memeriksa pendiri Gojek yang sempat jadi menteri ini. Pemeriksaan ini berkaitan dengan dugaan korupsi dalam proyek digitalisasi pendidikan periode 2019–2022. Total kerugian negara ditaksir mencapai angka yang lumayan bikin merinding: Rp9,9 triliun.
Pemeriksaan terhadap Nadiem ini dinilai sebagai langkah penting. Sekjen Baladhika Adhyaksa Nusantara (BAN), Asep Riyadi, bahkan terang-terangan menyebut bahwa mantan menteri ini adalah “pihak yang paling paham dan berkepentingan” dalam perkara pengadaan laptop yang viral itu. Bahkan, kata Asep dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/06), “Kami yakin, justru dialah inisiator dari program digitalisasi ini.”
Ya, masa iya laptop yang didistribusikan ke sekolah-sekolah se-Indonesia itu bisa nyasar begitu aja tanpa sepengetahuan bos besar?
Asep menambahkan, mustahil duit sebesar itu Rp9,9 triliun bung! digelontorkan tanpa sepengetahuan menteri. “Anggaran sebesar itu nggak mungkin cuma mainan pejabat level kroco,” tegasnya, sambil mendorong Kejagung untuk ikut memeriksa nama-nama besar lain yang mungkin turut ‘cicip’ dana, termasuk lintas kementerian dan parlemen.
Ia pun mengingatkan agar pemeriksaan terhadap Nadiem tidak cuma jadi formalitas: “Penyidik jangan cuma basa-basi tanya soal administrasi. Ini saatnya dalami peran Nadiem dan lingkaran kabinet terkait,” ujarnya serius.
Yang bikin perkara ini makin absurd adalah detail teknis proyeknya sendiri. Berdasarkan investigasi yang dilakukan pihak BAN, dugaan korupsi ini dijalankan dengan cara yang, dalam bahasa Asep, “kampungan dan serampangan.”
Bayangkan saja: laptop Chromebook yang di pasar online harganya cuma sekitar Rp5-6 jutaan, mendadak dihargai Rp9,9 juta per unit. Padahal, barang ini bukan barang mewah, bukan MacBook, bukan juga laptop edisi Elon Musk. “Modusnya tuh norak banget. Chromebook kayak gitu aja dipatok Rp10 juta per unit? Ya elah!” kata Asep.
Tak hanya soal harga, jenis laptop yang dipilih pun dinilai tidak sesuai kebutuhan. Sistem operasi yang digunakan adalah ChromeOS, yang notabene butuh koneksi internet stabil—sebuah kemewahan yang belum semua sekolah miliki, apalagi di pelosok.
Selain itu, penggunaan ChromeOS juga hanya cocok di laptop-laptop tertentu. Tapi entah kenapa, sistem ini justru dipaksakan masuk ke dalam proyek nasional seharga hampir Rp10 triliun itu.
“Jadi, jangan bilang pengadaan ini terjadi begitu saja. Setiap tahapan pasti diketahui Nadiem. Maka, dia tak bisa asal cuci tangan dan menimpakan semua kesalahan ke anak buah,” tutup Asep.
Penulis : Deny Darmono| Editor: Ivan