PRABA INSIGHT- Kalau ada lomba ngasih izin tambang semudah beli cilok di pinggir jalan, bisa jadi Indonesia juara satu.
Tapi sayangnya, yang kenyang bukan rakyat, melainkan perusahaan tambang yang makin subur mengeruk kekayaan alam. Rakyat? Masih berjuang rebutan air bersih sambil menghirup debu tambang.
Nah, R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, sepertinya udah cukup kenyang lihat drama tambang di tanah air.
Ia mengusulkan sistem baru buat ngurus izin tambang: Kontrak Berbasis Indeks Kesejahteraan alias KBIK. Bukan cuma sekadar dokumen izin, tapi kontrak berdarah-darah yang isinya memastikan rakyat di sekitar tambang nggak cuma jadi penonton, apalagi korban.
Menurut Haidar, izin tambang jangan lagi dinilai dari seberapa tebal amplop proposal atau berapa digit angka investasinya.
Yang harus jadi tolok ukur adalah seberapa makmur warga lokal jadinya setelah tambang itu berdiri. Nggak ada lagi cerita tambang jalan terus, tapi anak-anak di desa masih kekurangan gizi dan sekolah bocor tiap musim hujan.
“Kalau izin dikasih tapi rakyat tetap melarat, itu bukan investasi. Itu penjajahan berkedok pembangunan,” tegas Haidar, sambil mengingatkan kalau negara nggak boleh terus-terusan kompromi sama korporasi yang kerjaannya cuma ngerusak.
RIKM: Rencana yang Harus Lebih dari Sekadar Janji Manis
Sebelum bangun tambang, perusahaan wajib setor dokumen yang namanya Rencana Indeks Kesejahteraan Masyarakat (RIKM).
Isinya? Harus lengkap dan serius. Dari rencana ngurangin kemiskinan, nyediain lapangan kerja, bikin sekolah yang nggak roboh, sampai jaminan air bersih dan perlindungan lingkungan. Kalau perlu, tambang digeser demi sumur warga tetap ngalir.
Buat yang sudah kadung punya izin, Haidar usul agar setiap lima tahun dievaluasi ketat. Tapi bukan oleh pejabat yang doyan kompromi atau lembaga yang kantornya di gedung kementerian.
Evaluasinya harus dipegang lembaga independen, yang bisa ngasih penilaian jujur: udah beneran bikin rakyat makmur belum?
Kalau belum? Ya izin dicabut. Bukan dipoles jadi proyek CSR ala-ala.
Fakta Bikin Merinding: 58 Persen Desa Tambang Masih Nggak Punya Akses Air Bersih
Data dari BPS tahun 2023 bikin jidat berkerut: 58 persen desa di sekitar tambang besar masih kekurangan air bersih, dengan tingkat kemiskinan yang bahkan lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Ini jelas bikin pertanyaan besar: tambangnya yang maju atau rakyatnya yang mundur?
Menurut Haidar, ini bukti nyata bahwa sistem perizinan sekarang lebih pro-korporasi ketimbang pro-rakyat.
Ibaratnya, rakyat cuma dapat limbah dan konflik sosial, sementara hasil tambang mengalir manis ke pusat.
Makanya, ia mendorong agar pemerintah daerah dikasih taring. Jangan cuma jadi penonton yang kebagian sampah.
Pemda harus bisa menolak, mencabut, bahkan menolak perpanjangan izin kalau tambang terbukti cuma bikin bencana.
Kontrak Sosial dan Hak Veto: Rakyat Bukan Figuran
Lebih lanjut, Haidar menekankan pentingnya kontrak sosial antara perusahaan dan warga lokal.
Harus ada perjanjian tertulis yang transparan: berapa pendapatan, bagaimana pembagian manfaat, dan yang paling penting, rakyat harus punya hak veto kalau aktivitas eksplorasi tambang udah kelewat batas.
Ini bukan utopia. Ini keadilan paling mendasar.
Dalam konteks pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Haidar menyebut ide ini bisa jadi warisan besar.
Kalau Prabowo benar-benar ingin dikenang sebagai pemimpin yang berpihak pada rakyat dan kedaulatan, ya ini jalannya.
“Kalau izin tambang masih bikin rakyat sengsara, itu artinya kita ngasih ruang bukan buat pembangunan, tapi buat penjajahan versi baru. Benderanya aja yang ganti,” tutup Haidar dengan nada tajam, tapi masuk akal.
Penulis : Alma Khairunnisa |Editor: Ivan