KOLOM ANGKER – Di jantung Kalimantan, di antara kabut yang tak pernah benar-benar sirna dan akar pohon yang mencengkeram tanah seperti jari raksasa, pernah berdiri sebuah desa bernama Lubuk Panas.
Desa itu dahulu makmur. Padi tumbuh tinggi, anak-anak berlarian di pematang, dan sungai di tepi hutan memantulkan cahaya matahari seperti cermin surga. Tapi, sebagaimana surga dalam kisah lama, selalu ada dosa yang menunggu di balik doa.
Kepala desa Lubuk Panas, orang yang disegani dan tak pernah menatap orang miskin terlalu lama, konon telah menandatangani perjanjian dengan makhluk yang tak disebut namanya. Pesugihan, kata sebagian. Persembahan, kata yang lain. Tapi semua sepakat, tumbal manusia adalah harga yang harus dibayar.
Dan sejak malam perjanjian itu, bulan purnama tak lagi terasa indah. Setiap kali ia menggantung di langit, satu nama hilang dari daftar warga. Anak-anak, perempuan, petani, siapa saja yang lupa menutup pintu ketika malam datang.
Suatu malam, sebelum ayam sempat berkokok, desa itu lenyap.
Tak ada mayat, tak ada api, tak ada jejak kaki. Hanya sepi seperti seseorang telah menghapus seluruh keberadaan mereka dari bumi.
Lima Puluh Tahun Kemudian
Sekelompok pendaki menemukan jalan setapak yang tak ada di peta. Mereka mengikuti jalur itu dengan penasaran, sampai akhirnya kabut membuka diri dan memperlihatkan desa yang seolah membeku di waktu yang salah.
Rumah-rumah panggung berdiri utuh, dindingnya ditutupi lumut, tiang-tiangnya dibelit akar. Tak ada ayam, tak ada jangkrik, tak ada manusia.
Udara hening, tapi hening yang berat seperti sedang menunggu sesuatu.
Di depan salah satu rumah, ada lesung kayu berisi beras putih.
Masih segar. Masih wangi.
Seolah seseorang baru saja menumbuknya dan pergi terburu-buru.
“Sepertinya desa ini baru ditinggalkan,” ujar satu dari mereka.
Namun semakin lama mereka tinggal, udara berubah panas, menusuk kulit seperti bara yang menempel di pori-pori. Bau daging hangus perlahan memenuhi udara.
Malam di Balai Desa
Mereka menyalakan api unggun, berharap cahaya bisa menenangkan. Tapi cahaya hanya membuat bayangan semakin panjang.
Dari jauh, terdengar suara gamelan lirih, lalu semakin jelas.
Nada-nadanya tak harmonis, seperti dimainkan oleh tangan-tangan yang tak lagi memiliki jari.
Tawa menyusul kemudian.
Bukan tawa bahagia, tapi tawa yang kering, terputus, seperti suara tulang retak.
Dari ujung jalan desa, mereka datang.
Tubuh gosong, kulit melepuh, mata kosong seperti lubang hitam.
Mereka berjalan pelan, tersenyum lebar terlalu lebar untuk wajah manusia.
Para pendaki berlari, tapi setiap lorong yang mereka ambil membawa mereka kembali ke tempat yang sama. Balai desa. Api unggun. Dan tawa-tawa itu.
Desa itu hidup. Dan ia lapar.
Pemanggilan Nama
Asap hitam berkumpul di depan balai desa, membentuk sosok tinggi bertanduk, matanya menyala merah seperti bara api di dasar tambang.
Suara beratnya menggema ke langit:
“Aku memanggil kalian satu per satu…”
Ia menyebut nama mereka satu, dua, tiga…
Bagaimana ia tahu nama-nama itu, tak ada yang mengerti.
Setiap nama dipanggil, bayangan hitam muncul, merenggut orang itu dan menyeretnya ke tanah. Tak ada darah, hanya jeritan pendek dan udara yang tiba-tiba terasa kosong.
Hingga hanya satu yang tersisa.
Satu yang Bertahan
Ia memanjat pohon tinggi di tepi hutan. Dari sana, ia melihat Desa Lubuk Panas terbakar dengan api hitam, tanpa suara, tanpa jeritan. Hanya bayangan-bayangan manusia menari di dalam kobaran yang tak padam.
Pagi menjelang, ia ditemukan oleh warga kampung lain.
Tubuhnya penuh luka bakar ringan, matanya kehilangan cahaya.
Saat ia diminta menunjukkan jalan ke desa itu, mereka hanya menemukan hutan lebat tanpa jejak kehidupan.
Namun di telapak tangannya, tertulis dengan arang gosong:
“Jangan kembali.”
Sejak hari itu, orang-orang berhenti mencari Desa Lubuk Panas.
Tapi setiap kali bulan purnama datang, dari tengah hutan, kadang terdengar suara gamelan samar.
Dan di antara kabut, seseorang bersumpah pernah melihat nyala api hitam menari di antara pepohonan.
Mungkin itu hanya angin.
Atau mungkin, desa itu masih ada, menunggu nama-nama baru untuk dipanggil.
Penulis : Ris Tanto | Editor : Ivan
Disclaimer: Tulisan ini bersifat fiktif dan terinspirasi dari cerita rakyat serta legenda urban di masyarakat. PRABA INSIGHT senantiasa menjunjung nilai jurnalistik berimbang dan menyajikan informasi yang dapat dipercaya.






