Taman Safari Indonesia (TSI), yang selama ini dikenal sebagai destinasi wisata ramah keluarga dengan gajah yang bisa salaman dan harimau yang bisa difoto bareng, belakangan ini sedang kena semprot.
Bukan dari aktivis lingkungan, tapi dari kuasa hukum mantan pemain sirkus Oriental Circus Indonesia (OCI).
Adalah Muhammad Soleh, pengacara dari para mantan pemain sirkus yang merasa hak-haknya dirampas sejak kecil.
Dalam program Sapa Indonesia Pagi KompasTV (Sabtu, 19 April 2025), Soleh menyerukan satu langkah ekstrem tapi cukup masuk akal: boikot Taman Safari Indonesia. Bukan karena tiketnya mahal atau macetnya luar biasa saat long weekend, tapi karena “Taman Safari lahir dari penderitaan manusia.”
Bukan sembarang penderitaan. Soleh menuding ada sejarah kelam di balik kemegahan Taman Safari yakni eksploitasi anak-anak sebagai pemain sirkus selama bertahun-tahun.
Ia menyoroti tiga nama besar yang disebut-sebut sebagai otak di balik OCI sekaligus petinggi TSI: Jansen Manansang, Frans Manansang, dan Tony Sumampouw.
Tiga nama ini, katanya, belum juga menjalankan rekomendasi dari Komnas HAM soal dugaan pelanggaran terhadap hak anak.
“Bayangkan, ada sekitar 60 balita yang dipisahkan dari orang tuanya demi tampil melompat-lompat di arena sirkus. Taman Safari tumbuh dari situasi itu. Maka, sudah sepatutnya kita mempertimbangkan untuk tidak lagi mengunjungi tempat yang didirikan dengan cara-cara seperti itu,” ujar Soleh, dengan nada geram dan getir.
Pernyataan ini bukan asal bunyi. Komnas HAM sendiri mengeluarkan rekomendasi atas empat jenis pelanggaran yang dilakukan terhadap para pemain sirkus OCI.
Namun sayangnya, hingga kini, langkah konkret dari pihak yang bertanggung jawab masih ditunggu-tunggu. Entah karena lupa, entah karena pura-pura tidak dengar.
Soleh menegaskan bahwa ia tidak sedang menyerang Taman Safari sebagai institusi wisata.
Yang ia sasar adalah tiga sosok di balik OCI yang kini juga berperan penting di tubuh TSI. Ia berharap, tekanan publik bisa memaksa mereka untuk bertanggung jawab atas masa lalu yang, katanya, “penuh luka dan tawa palsu anak-anak sirkus.”
Di tengah gempuran konten hewan lucu dan wahana edukatif, mungkin memang saatnya kita bertanya ulang: apa yang sebenarnya sedang kita dukung saat membeli tiket ke Taman Safari.