OPINI
Di tulis Oleh: Haidar Alwi
Saya, Haidar Alwi. Lahir dan besar di Solo, 6 Agustus 1963. Waktu kecil, saya pikir negeri ini semacam surga yang turun di khatulistiwa: gunung hijau, laut biru, sawah luas, dan tawa anak-anak di iklan TVRI.
Tapi makin dewasa, saya makin sadar: tawa itu makin pelan. Lama-lama, hilang sama sekali. Yang tersisa? Antrian panjang air bersih di Sulawesi, rumah gelap di pedalaman Kalimantan, dan anak-anak Papua yang tak tahu rasanya belajar di kelas berlantai keramik.
Padahal ini negeri penghasil nikel nomor satu di dunia. Nikel yang jadi bahan utama baterai mobil listrik yang katanya masa depan umat manusia diambil dari tanah kita.
Tapi lihatlah kampung-kampung dekat tambang: mereka masih beli air pakai jeriken dan solar pakai utang koperasi.
Indonesia juga eksportir batubara nomor tiga sedunia. Tapi warganya? Masih matikan kulkas karena tagihan listrik bikin stres.
Kita juga penghasil emas. Ratusan ton emas disedot tiap tahun dari Papua, tapi masyarakat di sana hidup seperti dusun tanpa masa depan.
Bukan cuma saya yang bilang. Ini data. Bukan ilusi.
Jadi, kalau ada yang masih nanya: “Kenapa Indonesia belum jadi negara maju?”
Jawabannya bukan karena kita kurang pintar, tapi karena kita terlalu diatur.
Penjajahan Belum Pergi, Cuma Ganti Seragam
Dulu penjajah datang pakai senapan dan topi baja. Sekarang mereka datang bawa dasi dan proposal investasi. Dulu kita ditindas paksa.
Sekarang kita ditindas dengan suka rela lewat utang, kontrak konsesi, dan regulasi yang “sok legal”.
Mau tahu caranya?
Inilah sistemnya:
1. Ciptakan Ketergantungan
Dikasih utang, dijanjikan proyek infrastruktur. Tapi dibaliknya, ada syarat tersembunyi yang bikin kita bertekuk lutut.
2. Beli Para Elite
Bantu kampanye. Buka pintu karier anak-anak mereka. Nanti mereka yang bikin aturan: bukan untuk rakyat, tapi buat korporasi.
3. Kuasai Jalur Distribusi
Bangun pelabuhan dan jalan tol, tapi cuma buat kirim hasil bumi ke luar negeri. Petani? Tetap jalan kaki bawa panen.
4. Bungkam Suara Kritis
Aktivis disebut penghambat pembangunan. Media dibeli. Kritik disensor. UU dijadikan tameng korporasi.
5. Pecah Belah Rakyat
Mainkan isu agama, suku, dan identitas. Biar rakyat sibuk ribut, lupa bahwa yang nguras kekayaan mereka ya… sistem itu tadi.
Satu abad merdeka, tapi tetap merasa dijajah. Bedanya sekarang penjajahnya pakai jas dan bahasa korporat.
Dan siapa sponsor terbesar media, iklan, bahkan kampanye politik? Perusahaan tambang. Migas. Sawit. Mereka yang pegang remote.
Kita kerja di bawah mereka, digaji oleh mereka, dan karena itu diam karena takut kehilangan semuanya.
Cukup. Sudah Terlalu Lama Diam.
Saya tidak bicara soal teori konspirasi. Saya bicara fakta. Lihat saja konsesi tambang yang bisa berlaku 99 tahun. Kepemilikan saham mayoritas asing atas tanah dan air kita. Iklim investasi jadi dalih kolonialisme baru.
Sistem lama itu masih kuat. Tapi sekarang kita punya satu peluang.
Saya berharap, dengan naiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden terpilih 2024–2029, Indonesia berani memutus rantai sistem lama ini. Tidak mudah. Tapi bukan mustahil.
Prabowo dikenal dunia sebagai sosok tegas. Bukan karena tunduk, tapi karena berdiri tegak. Kita butuh ketegasan itu untuk melawan penjajahan berkedok kerja sama.
Kita ingin Indonesia bangkit bukan hanya di podium-podium, tapi di sawah, di tambang, di laut, dan di dapur-dapur warga.
Menuju Indonesia Emas Bukan Slogan. Itu Tugas Sejarah.
Bukan lagi saatnya bangsa ini jadi kasir toko yang cuma hitung hasil tambang untuk dikirim ke luar negeri.
Sudah waktunya kita punya industri yang berdiri sendiri. Jalan untuk rakyat, bukan hanya untuk ekspor. Subsidi yang berpihak pada petani dan nelayan, bukan konglomerat energi.
Kita butuh pemimpin yang bisa mencabut kabel sistem kolonial gaya baru ini. Dan kita semua harus bantu menyalakan lampu kesadaran itu.
Indonesia bisa. Tapi syaratnya satu: berani mengubah sistem.