PRABA INSIGHT – JAKARTA – Bencana itu memang tak pernah datang sendirian. Selain air bah yang sukses bikin warga panik dan jalanan lumpuh, alam juga rajin mengirim “oleh-oleh” berupa gelondongan kayu yang nongol di muara, menumpuk di sungai, dan bikin publik Indonesia serempak mengangkat alis.
Di Aceh, Sumatera Utara, sampai Sumatera Barat, banjir kemarin seperti membongkar rahasia dapur hutan. Tiba-tiba kayu raksasa ikut berenang bebas. Publik pun bertanya-tanya: ini kayu jatuh cinta sama arus atau ada cerita lain?
Menurut Ir. R. Haidar Alwi, MT pendiri Haidar Alwi Care, Haidar Alwi Institute, sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB fenomena ini bukan sekadar banjir biasa. Ini semacam “peringatan WhatsApp” dari alam, tapi dikirim lewat medium air dan batang pohon.
Dan, kata Haidar, di era Presiden Prabowo Subianto, negara cukup peka membaca notifikasi itu. Tidak panik, tidak ikut membully, tapi langsung bekerja presisi. Negara hadir seperti dokter yang menenangkan pasien: tidak sok tahu, tapi cek, uji, lalu bertindak.
Ketika Alam Ngasih Clue Lewat Gelondongan Kayu
Air bah itu punya hobi unik: membongkar masa lalu. Segala yang tersembunyi di hulu, ia tarik ke hilir. Pohon roboh, lereng longsor, tumpukan kayu legal, sampai hasil kerjaan tangan-tangan yang tidak halal, semuanya bisa ikut hanyut.
Di Padang, Tapsel, Tapteng, Sibolga, hingga Meureudu, kayu-kayu itu muncul serempak. Seolah hutan sedang bilang, “Nih, baca dulu masa lalu ruangmu sebelum kamu ribut soal masa depannya.”
Haidar pun mengingatkan:
“Alam tak suka kode-kode halus. Ia bicara lewat tanah, air, dan kayu. Tugas negara adalah mendengarkan tanpa prasangka.”
Jadi, kalau kayu itu pesan, negara harus jadi pembaca yang sabar. Jangan langsung menyimpulkan, apalagi cuma modal scrolling timeline.
Kayu Itu Data, Bukan Sekadar Objek Terapung
Ini bagian yang jarang dibahas warganet. Dalam ilmu kehutanan, setiap batang kayu punya “sidik jari”: seratnya, patahannya, kadar airnya, sampai sisa-sisa akarnya. Itu semua bisa menjelaskan apakah kayu itu tumbang alami, kena longsor, terbawa banjir, atau hasil aktivitas gelap di hulu.
Dalam ilmu geomorfologi, arah rotasi batang bahkan bisa memberi clue bagaimana tanah bergerak sebelum banjir. Sementara citra satelit menunjukkan bagaimana hulu berubah dari tahun ke tahun.
Haidar menyebutnya “kejujuran alam”, karena alam tidak bisa memalsukan bukti.
“Kayu hanyut itu huruf-huruf ekologis. Kalau dibaca lengkap, kita bisa tahu apa yang rusak dan apa yang harus diperbaiki,” katanya.
Sayangnya, huruf-huruf ini tidak bisa dibaca dengan teori konspirasi atau debat grup WhatsApp keluarga. Butuh ilmu. Butuh penyidikan.
Kapolri Turun: Dari Viral ke Ilmiah
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo rupanya tidak mau masuk perangkap opini. Kayu gelondongan bukan soal trending topic, tapi soal keselamatan ruang hidup. Maka Polri langsung menggerakkan Dittipidter, berkoordinasi dengan KLHK, BNPB, BPBD, BRIN, TNI, dan pemerintah daerah.
Kayu dianalisis satu per satu. Dari bentuk patahan sampai kemungkinan asal hulu. Semua diuji lewat sains, bukan asumsi.
Haidar menyebut ini sebagai wujud negara yang bekerja jujur.
“Presisi bukan hanya soal akurasi langkah, tapi kejujuran membaca ruang. Keselamatan tak boleh bergantung pada tebak-tebakan,” ujarnya.
Dari Hulu ke Hilir: Yang Penting Bukan Siapa Salah, Tapi Apa yang Rusak
Penyelidikan ini, menurut Haidar, bukan cuma mencari pelaku. Negara sedang membaca ulang catatan lama tentang bagaimana hutan dirawat atau gagal dirawat.
Kalau kayunya tumbang alami, berarti mitigasi harus diperkuat. Kalau dari tumpukan legal, tata ruang perlu dievaluasi. Kalau dari pelaku ilegal, ya penegakan hukum harus diperkeras. Kalau kombinasi semuanya? Berarti PR-nya panjang dan negara harus bekerja lebih sistematis.
“Setiap kayu hanyut adalah fragmen masa lalu. Negara harus menggabungkannya untuk menulis masa depan yang lebih aman,” kata Haidar.
Era Prabowo dan Negara yang Punya Kepekaan Ruang
Bagi Haidar, langkah Kapolri adalah contoh bagaimana negara bekerja dengan rasa. Negara mendengar sebelum rakyat berteriak. Negara membaca ruang sebelum ruang itu luka lebih dalam.
Dan selama negara mau mendengar pesan alam, kata Haidar, bangsa ini tidak akan kehilangan arah.
“Selama negara menjaga rasa dan jujur pada ruang, Indonesia tak akan tersesat even di tengah badai paling gelap sekalipun,” tutup Haidar.(van)







