PRABA INSIGHT – Kalau mampir ke Solo, salah satu kuliner legendaris yang sering direkomendasikan adalah Ayam Goreng Widuran.
Sudah berdiri sejak 1973, tempat makan ini dikenal karena ayam kampungnya yang gurih, berbumbu rempah, dan kremesannya yang renyah.
Tapi, siapa sangka, si kremesan ini justru jadi biang kerok kegaduhan di dunia maya.
Semua bermula dari sebuah unggahan di media sosial X (dulu Twitter). Seorang pengguna bernama @pedalranger mengaku syok setelah tahu bahwa kremesan ayam goreng Widuran digoreng pakai minyak babi.
Iya, minyak babi. Padahal, selama ini banyak pelanggannya adalah umat Muslim. Alhasil, tagar, komentar, dan kekesalan pun bermunculan.
Menurut Ranto, salah satu pegawai di Ayam Goreng Widuran, manajemen sejatinya sudah memberi tahu sejak awal bahwa ada menu non halal.
Peringatan ini bahkan katanya sudah dicantumkan di menu. Tapi ya itu, namanya juga netizen, kalau udah viral baru pada ramai.
“Yang bikin ramai itu kremesnya. Karena digoreng pakai minyak babi. Tapi udah jelas kami kasih label non halal,” kata Ranto, Sabtu (24/5), seperti dikutip dari DetikJateng.
Setelah keributan makin membesar, manajemen Ayam Goreng Widuran buru-buru bikin klarifikasi lewat Instagram resmi mereka.
Mereka bilang, informasi soal status “non halal” sudah dipasang di seluruh cabang dan platform digital, termasuk bio Instagram dan Google Review.
“Kami telah mencantumkan keterangan Non Halal secara jelas di seluruh outlet dan media sosial resmi kami,” tulis manajemen.
Tapi rupanya klarifikasi itu belum cukup bikin publik adem. Kepala Dinas Perdagangan Solo, Agus Santoso, langsung pasang badan.
Ia menyebut pihaknya akan mengecek langsung ke lapangan bersama OPD terkait.
“Kalau bahan mentah, itu ranah Dinas Pertanian. Tapi kalau makanan siap saji, itu DKK dan BPOM yang menangani,” ujarnya.
Yang bikin kisruh ini jadi sensitif adalah karena ayam gorengnya memang sangat populer di kalangan Muslim. Banyak pelanggan mengaku pernah makan tanpa tahu bahwa kremesannya tidak halal.
Dalam konteks Indonesia yang mayoritas Muslim, urusan kehalalan makanan ini jelas bukan perkara sepele.
Peristiwa ini jadi pengingat penting, baik bagi pelaku usaha kuliner maupun konsumennya.
Untuk pelaku usaha, transparansi soal bahan dan proses masak harus lebih tegas dan mencolok, jangan cuma mengandalkan tulisan kecil di pojokan menu.
Sedangkan untuk pembeli, mungkin kita juga perlu mulai lebih kritis dan bertanya sebelum menyantap sesuatu apalagi kalau tempat makannya nggak pakai embel-embel halal.
Karena kadang, yang kelihatan “ayam goreng biasa”, ternyata kremesannya bisa bikin geger satu negara.
Penulis : Ivan