PRABA INSIGHT – JAKARTA – Bicara soal Sumpah Pemuda 2025, rasanya nggak cuma tentang membaca teks di buku sejarah sambil angguk-angguk sok paham. R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, punya versi sendiri: kalau mau bangsa ini tetap waras, pemuda harus belajar disiplin dari polisi, dan polisi harus belajar idealisme dari pemuda.
“Sumpah Pemuda bukan hanya tentang bersatu, tapi tentang bagaimana kita bertanggung jawab menjaga persatuan itu,” kata Haidar Alwi.
Intinya, persatuan itu nggak jatuh dari langit. Harus ada kerja nyata. Pemuda bawa ide, energi, dan kreativitas. Polisi bawa hukum dan tanggung jawab. Kalau keduanya ketemu, lahirlah sesuatu yang Mojok sebut republik berakal.
Dari Buku Sejarah ke WhatsApp Hoaks
Kalau dulu tantangan bangsa berupa penjajah, sekarang tantangannya lebih absurd: hoaks dan literasi digital yang pincang. BRIN 2025 bilang, 70 persen potensi konflik sosial muncul dari misinformasi. Kominfo tambah: 42 persen penyebar hoaks berusia 18–30 tahun. Jadi, ya, pemuda kudu terlibat kalau ingin Indonesia tetap punya kepala dingin.
Haidar juga bilang, Polri di bawah Jenderal Listyo Sigit Prabowo udah paham zaman. Paradigma Presisi nggak cuma soal aturan baku, tapi soal empati hukum.
“Presisi bukan sekadar kebijakan, tapi metode membangun empati hukum,” kata Haidar.
Kalau mau gampang, bayangkan: polisi buka kanal pengaduan online, pemuda bantu sosialisasi anti-hoaks. Kombinasi ini bikin hukum nggak lagi serem, tapi edukatif.
Sekolah Bangsa, Dua Kelas
Haidar punya analogi: pemuda dan polisi itu dua sekolah yang berbeda tapi saling melengkapi. Polisi ngajarin disiplin, pemuda ngajarin kreativitas. Polisi bikin hukum nggak kehilangan hati, pemuda bikin moral nggak kehilangan arah.
“Polisi menjaga hukum agar tidak kehilangan hati, pemuda menjaga moral agar tidak kehilangan arah. Keduanya jika bersatu, akan menumbuhkan bangsa yang berakal sehat,” ujarnya.
Contoh nyata? Mahasiswa ikut program literasi hukum bareng Bhabinkamtibmas di kampus dan desa. Di situ terlihat sinergi antara idealisme muda dan ketertiban aparat.
“Negara ini akan maju jika hukum mampu melindungi keberanian, dan keberanian tetap menghormati hukum,” tambah Haidar.
Sumpah Pemuda: Nggak Cuma Seremonial
Bagi Haidar, Sumpah Pemuda itu janji moral. Polisi bukan cuma penegak hukum, tapi guru sosial. Pemuda nggak bisa cuma ngeritik, harus turun ke lapangan. Kalau dua kekuatan ini jalan bareng, hukum bukan momok, tapi cahaya yang nuntun arah hidup bersama.
“Negara kuat bukan karena banyak aturan, tetapi karena rakyatnya sadar makna keadilan,” kata Haidar.
“Ketika ilmu dan ketertiban berjalan beriringan, Indonesia tidak hanya aman, tapi juga berakal,” tambahnya.
Sandri Rumanama, Direktur Haidar Alwi Institute, menggelar dialog publik di Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2025. Tujuannya jelas: kasih ruang pemuda dan polisi ngobrol bareng soal tanggung jawab bangsa.
“Karena setiap hal besar, pasti diawali dengan upaya kecil, langkah kecil terlebih dahulu. Jangan bermimpi membangun bangsa kalau bangun tidur saja masih siang,” kata Sandri.
Putri Khairunnisa dari KNPI juga angkat bicara: pemuda itu bukan sekadar pasar, tapi penentu masa depan bangsa.
“Semangat kita, keinginan kita, mimpi kita semua, bukan hanya pemuda, tapi bangsa insyaAllah bisa terwujud dan terdepan. Itu yang menjadi catatan penting saya,” tandasnya.
Intinya: kalau pemuda dan polisi bisa jalan bareng, Sumpah Pemuda nggak akan cuma jadi teks di buku sejarah atau postingan Instagram tahunan. Tapi hidup nyata, di literasi, moral, dan hukum, agar Indonesia tetap waras dan berakal. (Van)






