Menu

Mode Gelap
Roy Suryo Ngaku Ijazah Jokowi 99,9 Persen Palsu: Dari Error Level Analysis Sampai Ngulik Foto Pakai Face Recognition Ribuan Orang Kumpul di Ciracas: Munajat 1000 Doa, Santunan Rakyat, dan Hadiah Umrah Gratis dari Haidar Alwi Mau Kepoin Lokasi Orang Cuma Pakai Nomor HP? Nih Cara Paling Gampang Capek, Lihat Pemimpin Cuma Jago Webinar? Akademi SaDaya Hadir Bikin Pemimpin Sosial yang Mau Kerja, Bukan Cuma Ceramah Robi Syianturi Tembus 2 Jam 15 Menit, Pecahkan Rekor Asia Tenggara di Gold Coast Marathon Tarif Ojol Mandek Tiga Tahun, SePOI Desak DPR Segera Tuntaskan UU Transportasi Online

Prabers

“Jurnalisme Sekarat di Negeri yang Lebih Suka Drama daripada Data”

badge-check


					Foto Ilustrasi: ist Perbesar

Foto Ilustrasi: ist

PRABA INSIGHT – Dulu, jadi wartawan adalah mimpi banyak mahasiswa komunikasi. Bisa wawancara pejabat, nongkrong di kafe sambil ngetik berita, dan kalau beruntung, masuk grup WhatsApp gosip elite.

Tapi sekarang? Profesi wartawan pelan-pelan berubah dari cita-cita jadi cerita. Cerita tentang PHK, gaji telat, dan surat tugas yang tinggal kenangan.

Ribuan Wartawan Tersisih, Bukan Karena Tidak Kompeten, Tapi Karena Dunia Sudah Terlalu Canggih

Menurut Dewan Pers, sepanjang tahun 2023 hingga awal 2024, sudah ada lebih dari 1.200 karyawan perusahaan pers, termasuk wartawan, yang terkena gelombang PHK massal. Itu baru yang tercatat secara resmi.

Belum termasuk para jurnalis freelance, kontributor, dan wartawan lepas yang statusnya lebih tidak jelas dari hubungan situationship.

Jumlah ini bukan angka kecil. Kalau 1.200 orang itu ngumpul bikin media sendiri, bisa jadi media baru paling heboh se-Asia Tenggara. Tapi kenyataannya, mereka malah jadi korban dari gelombang badai digital yang menerjang industri media kita.

Iklan Pergi ke Platform Lain, Media Lokal Cuma Bisa Melongo

Salah satu alasan utama kenapa media banyak yang ambruk adalah karena iklan digital yang kabur ke raksasa platform global. Sekitar 75 persen pangsa iklan nasional diambil alih oleh Google, Meta (Facebook & Instagram), dan kawan-kawannya. Media lokal? Dapat remah-remah kerupuk.

Padahal, iklan adalah sumber oksigen utama buat media. Begitu iklan berhenti datang, media mulai megap-megap. Redaksi dipangkas, wartawan di-PHK, dan kantor berita yang dulu ramai kini jadi tempat meeting para hantu deadline.

Pembaca Berubah, Media Masih Ngebut Pakai Mesin Ketik

Perubahan kebiasaan pembaca juga jadi biang kerok. Anak muda zaman sekarang lebih percaya akun gosip di Instagram dan konten TikTok daripada membaca laporan investigasi yang panjang dan minim meme. Buka berita lima paragraf aja udah dianggap beban. Apalagi kalau tulisannya pakai istilah “narasi hegemonik” atau “represi struktural”.

Media yang nggak mampu menyesuaikan diri dengan kebiasaan baru pembaca akhirnya harus menerima nasib jadi “korban digitalisasi”. Banyak yang bilang ingin “transformasi digital”, tapi yang dilakukan cuma bikin TikTok dengan backsound lagu galau dan upload ulang berita koran dalam format PDF.

Status Wartawan: Nggak Tetap, Nggak Jelas, Nggak Diperhatikan

Laporan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut, banyak jurnalis Indonesia bekerja tanpa kontrak yang jelas. Sebagian besar bahkan digaji di bawah UMR, dan ketika di-PHK, tidak mendapat pesangon yang layak. Bahkan, BPJS Kesehatan pun kadang nggak dibayarin. Yang ada cuma BPJS: Berdoa Pasrah Jalanin Saja.

Jurnalis Diserang, Redaksi Diam, Publik Cuek

Sementara itu, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis juga masih tinggi. Dalam catatan AJI, sepanjang 2023 saja ada puluhan kasus intimidasi, kekerasan, hingga peretasan akun terhadap wartawan. Tapi anehnya, perhatian publik minim. Karena ya, siapa peduli? Toh berita tetap bisa dibaca, meski penulisnya sudah tidak kerja di sana lagi.

Media Berjuang, Tapi Pemerintah Cuma Nonton

Pemerintah sih bilang mereka peduli. Ada wacana regulasi iklan digital, ada juga omongan soal “kedaulatan informasi”. Tapi di lapangan, yang terjadi justru kebijakan-kebijakan yang kadang makin menyulitkan media. Bukannya ngasih subsidi, yang ada malah bikin syarat ini itu yang bikin kepala redaksi garuk-garuk skrip.

Di Balik Layar Berita yang Kamu Baca, Ada Wartawan yang Baru Dipecat

Sekarang ini, banyak wartawan yang akhirnya banting setir. Ada yang jadi admin medsos, ada yang buka usaha kopi, bahkan ada yang jualan pulsa sambil nulis esai. Ironis? Iya. Tapi mau gimana lagi? Ketika berita tak lagi dihargai, maka wartawan pun kehilangan tempat berpijak.

Jadi kalau kamu baca berita dari media online yang isinya padat, akurat, dan jelas, kasih apresiasi. Minimal jangan bilang, “Ah ini mah berita basi!” Karena siapa tahu, yang nulis berita itu sekarang sudah harus bayar cicilan dari hasil jualan mie ayam.

Dan kalau suatu hari kamu lihat berita makin sedikit, dan lebih banyak muncul konten clickbait yang judulnya “No 3 Bikin Kamu Terkejut!”, maka ingatlah: itu bukan semata salah media.

Tapi karena industri ini sedang dijalankan oleh orang-orang yang terus berjuang di tengah badai, sambil tetap mencoba menulis kalimat pembuka yang menarik.

 

Penulis : Ivan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Capek, Lihat Pemimpin Cuma Jago Webinar? Akademi SaDaya Hadir Bikin Pemimpin Sosial yang Mau Kerja, Bukan Cuma Ceramah

8 Juli 2025 - 06:01 WIB

“Ngaku Foodies? Buktiin di Rumah Indofood Jakarta Fair 2026: Ada Duel Masak Dadakan Sampai Warmindo Terluas!”

3 Juli 2025 - 19:07 WIB

“Sejarah Tahun Baru Islam: Dari Umar bin Khattab, Bid’ah, Berkah, dan Caption Galau Hijrah”

28 Juni 2025 - 14:26 WIB

“Pak Prabowo, Saatnya Cabut Kabel Sistem Lama: Jangan Biarkan Indonesia Jadi Negara Kaya Rasa Miskin”

28 Juni 2025 - 08:38 WIB

Hotel Dalam Bayang Efisiensi: Antara Tekanan dan Harapan

27 Juni 2025 - 07:30 WIB

Trending di Prabers