PRABA INSIGHT – JAKARTA – Jakarta kota yang katanya tak pernah tidur, tapi warganya sering ngantuk di jalan. Di tengah hiruk-pikuk itu, muncul ide baru dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo: meminta Gojek, Grab, dan Maxim menambahkan fitur tombol darurat di aplikasi mereka. Fungsinya? Biar pengemudi ojol bisa langsung melapor ke polisi kalau melihat atau mengalami tindak kejahatan di jalan.
Fitur ini bagian dari program Ojol Kamtibnas, alias Ojek Online Keamanan dan Ketertiban Masyarakat. Program ini ingin melibatkan pengemudi ojol sebagai “mata tambahan” kepolisian karena, ya, siapa lagi yang keliling kota dari pagi sampai malam selain mereka?
“Saya juga mendapatkan laporan bahwa yang ikut total sebenarnya hampir 400 ribu orang. Nantinya akan kita atur secara bertahap oleh Polda dan Polres jajaran. Kami menyambut baik Ojol Kamtibnas ini sebagai bentuk sinergitas antara Polri dan komunitas ojol dalam menciptakan stabilitas kamtibmas,” kata Sigit di Monas, Jakarta Pusat, Senin (20/10/2025).
Ketika Ojol Jadi Pahlawan Jalanan (Lagi)
Ide ini sebenarnya masuk akal. Kalau bicara siapa yang paling tahu kondisi jalan, driver ojol jawabannya. Mereka tahu di mana lampu merah rusak, di mana preman nongkrong, bahkan tahu mana warteg yang sambalnya paling jujur.
Jadi, ketika Polri ingin bekerja sama dengan aplikator seperti Gojek, Grab, dan Maxim untuk menambahkan fitur laporan cepat, logikanya mudah diterima.
“Polri akan bekerja sama dengan aplikator transportasi online untuk memasang aplikasi keamanan ke dalam sistem, sehingga rekan-rekan pengemudi ojek online dapat segera menghubungi personel Polri atau kantor polisi terdekat ketika menemukan atau mengalami tindak pidana di jalan,” jelas Sigit.
Tombol darurat ini nantinya diharapkan bisa mempercepat respons polisi. Tinggal tekan satu kali, laporan langsung terkirim ke pos polisi terdekat.
Tapi di luar niat baik itu, banyak pengemudi ojol yang masih bingung: kalau sudah lapor, lalu apa?
Sinergi atau Tambahan Shift Tak Dibayar?
Bagi banyak pengemudi ojol, program ini seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, mereka senang dianggap penting oleh negara. Tapi di sisi lain, ada rasa waswas jangan-jangan nanti mereka dituntut bertanggung jawab lebih dari sekadar melapor.
“Kalau cuma lapor sih nggak apa-apa. Tapi kalau harus ikut kejar pelaku, ya maaf, bensin saya udah tipis,” celetuk seorang driver di kawasan Cawang.
Pernyataan itu mungkin terdengar lucu, tapi menggambarkan keresahan nyata. Ojol bukan aparat, mereka pekerja harian. Setiap detik di jalan berarti potensi order bukan laporan kriminal. Kalau Polri ingin menjadikan ojol mitra kamtibmas, wajar kalau mereka berharap ada perlindungan hukum dan kompensasi yang jelas.
Karena membantu negara memang mulia, tapi mulia saja tidak cukup untuk bayar cicilan motor.
400 Ribu Ojol, 400 Ribu Cerita Jalanan
Kapolri bilang sudah ada hampir 400 ribu ojol yang mendaftar di wilayah Jadetabek. Angka yang luar biasa kalau dikumpulkan di Monas, mungkin bisa bikin kemacetan versi deluxe.
Sigit yakin, dengan jumlah sebesar itu, Polri bisa punya jaringan keamanan yang cepat, efektif, dan berbasis warga.
“Dengan kekuatan teman-teman komunitas ojol yang ada di mana-mana, kami meyakini peran ojol dalam membantu menciptakan stabilitas kamtibmas dan melakukan pencegahan kejahatan akan sangat membantu kepolisian,” ujarnya.
Tapi lagi-lagi, masalahnya bukan di niat. Masalahnya di batas peran. Sebab, di lapangan, ojol sering jadi pihak pertama yang tahu ada masalah tapi juga yang paling rentan kalau terlibat langsung.
Ojol Kamtibnas: Ide Besar, Tapi Harus Realistis
Secara konsep, Ojol Kamtibnas bisa jadi inovasi sosial yang bagus: menggabungkan kecepatan teknologi, jangkauan warga, dan sistem keamanan negara. Tapi di dunia nyata, tidak semudah menekan tombol darurat.
Program ini butuh aturan jelas: bagaimana mekanisme laporan, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana melindungi pengemudi jika mereka jadi saksi. Karena kalau tidak, niat baik ini bisa berubah jadi beban sosial baru bagi mereka yang sudah cukup lelah di jalan.
Pada akhirnya, Ojol Kamtibnas mengingatkan kita bahwa keamanan memang tanggung jawab bersama. Tapi tanggung jawab bersama juga butuh beban yang dibagi adil. Karena kalau ojol disuruh jaga jalan, melapor, dan tetap kejar target 10 order per hari ya, mungkin mereka lebih butuh fitur “lapor lelah” daripada “lapor kejahatan”. (Van)






