PRABA INSIGHT – JAKARTA – Polemik kasus dugaan korupsi di tubuh PT Pertamina Patra Niaga memasuki babak baru. Salah satu pihak yang menyoroti jalannya persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah Kantor Hukum Hendra Karianga & Partners, yang mendampingi terdakwa Riva Siahaan.
Kasus ini bermula dari praktik jual beli BBM non-subsidi jenis solar dan biosolar antara Pertamina Patra Niaga dan sejumlah perusahaan industri, termasuk di sektor pertambangan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai transaksi tersebut merugikan negara dan menyebut PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) mendapat keuntungan sekitar Rp14 miliar dalam periode 2018–2023.
Namun, menurut pihak kuasa hukum, konstruksi hukum yang digunakan JPU tidak tepat. Mereka menilai hubungan hukum antara Pertamina Patra Niaga dan para konsumen industri bersifat perdata murni (pure business), bukan pidana korupsi.
“Upaya pemerintah memberantas korupsi di BUMN tentu perlu didukung. Tapi langkah hukum aparat harus dilakukan dengan cermat, tidak serampangan, dan tidak mengkriminalisasi hubungan perdata menjadi perkara pidana,” ujar Hendra Karianga, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Kontrak Bisnis yang Dianggap Diseret ke Ranah Pidana
Menurut Hendra, kerja sama jual beli BBM non-subsidi antara Pertamina Patra Niaga dan konsumen industri, termasuk NHM, diatur melalui kontrak kerja (contract of work) yang sah secara hukum. Kontrak itu, kata dia, sudah memenuhi ketentuan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak.
“Pertamina Patra Niaga sebagai perusahaan milik negara tentu memahami norma kerja sama berdasarkan SOP internal mereka, termasuk mekanisme penetapan harga dasar. Konsumen seperti NHM hanyalah pihak yang menyetujui kesepakatan itu,” kata Hendra.
Ia menambahkan, pertikaian harga atau perbedaan perhitungan keuntungan tidak bisa serta-merta dianggap merugikan negara. Menurutnya, jika terjadi kerugian dalam kontrak bisnis, hal itu merupakan tanggung jawab korporasi, bukan pidana.
“Salah hitung dalam bisnis tak bisa langsung dikriminalisasi,” tegasnya.
Risiko bagi Dunia Usaha
Kuasa hukum juga menilai, jika hubungan bisnis seperti itu terus digiring ke ranah hukum pidana, hal tersebut bisa menimbulkan efek domino terhadap dunia usaha dan iklim investasi di Indonesia.
“Mereduksi contract of work menjadi perkara pidana adalah bentuk kriminalisasi. Ini bisa mengganggu kepercayaan investor yang menuntut kepastian hukum,” ujar Hendra.
Ia menekankan, pihak swasta seperti NHM tidak memiliki kewenangan menentukan harga jual BBM non-subsidi. Harga tersebut, lanjut Hendra, sepenuhnya ditetapkan oleh Pertamina Patra Niaga selaku badan usaha milik negara yang berwenang.
Dukungan terhadap Pemberantasan Korupsi, Tapi Tetap Proporsional
Meski menyoroti cara penegakan hukum dalam kasus ini, Hendra Karianga & Partners tetap menyatakan dukungan terhadap langkah pemerintah dalam pemberantasan korupsi, terutama di lingkungan BUMN. Namun, ia menegaskan bahwa semangat antikorupsi tidak boleh menafikan asas kepastian hukum dan keadilan bagi pelaku usaha.
“Kami mendukung upaya pemerintah memberantas kebocoran keuangan negara. Tapi dalam menegakkan hukum, jangan sampai perjanjian bisnis yang sah justru dijadikan alat kriminalisasi,” ujar Hendra.
Menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah penegakan hukum yang proporsional dan berbasis pada fakta hukum, bukan asumsi kerugian yang lahir dari dinamika bisnis.
“Pemberantasan korupsi harus tetap berjalan, tapi tidak dengan mengorbankan logika bisnis yang sah,” tutupnya. (Van)






