PRABA INSIGHT- Kalau cium tangan bisa mengakhiri ketegangan, mungkin banyak pejabat kita yang perlu ikut-ikutan.
Momen dramatis sekaligus penuh simbol terjadi saat Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencium tangan Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Bukan di Istana, bukan di ruang rapat, tapi di kediaman Mery Hoegeng istri mendiang Jenderal (Purn) Hoegeng Iman Santoso di Depok, Senin (23/6).
Di sana, dalam acara ulang tahun Mery yang ke-100, Listyo berdiri di depan rumah. Menunggu. Bersalaman. Hormat. Lalu… cium tangan.
Gestur ini langsung ramai jadi bahan perbincangan warganet. Tapi buat politisi PDIP Guntur Romli, semua ini seharusnya tak perlu dibawa ke arah politik picisan. Menurutnya, itu wajar. Namanya juga ketemu “Ibu Bangsa.”
“Wajar, cium tangan kepada orang tua. Ibu Megawati bukan cuma seperti ibu kita sendiri, beliau juga Ibu Bangsa dan Presiden RI ke-5,” kata Guntur seperti dikutip dari Merdeka.com, Selasa (24/6).
Ia pun membandingkan dengan Jokowi, yang menurutnya juga sering melakukan hal yang sama.
“Cium tangan itu sopan santun. Adab ketimuran. Bukan soal loyalitas politik, tapi tata krama,” ujarnya.
Tapi Bukannya Megawati Lagi Sentil-Sentil Kapolri?
Nah, ini yang bikin momen cium tangan itu terasa makin dramatis, bahkan sedikit plot twist. Soalnya, dalam beberapa pidato politiknya, Megawati memang sempat menyindir keras Kapolri Listyo. Salah satunya terjadi pada 14 Agustus 2024 di Kantor DPP PDIP.
Kala itu, Megawati curhat di depan publik bahwa permintaannya untuk bertemu Kapolri malah nggak digubris.
Megawati sampai harus meluruskan bahwa niatnya bukan untuk menekan atau mengintervensi.
“Memangnya saya enggak boleh (ketemu)? Kalau orang lain saja boleh, masa saya enggak boleh? Karena saya juga yang memisahkan (Polri dari ABRI), terus saya takut? Enggak. Saya orang baik-baik,” tegas Mega.
Kalimat “saya orang baik-baik” ini langsung jadi highlight tersendiri, karena jarang-jarang tokoh sekelas Megawati menyuarakan kekecewaan dengan begitu terbuka.
Namun menurut Guntur, kritik itu bukanlah serangan. Justru bentuk kasih sayang.
Kasih sayang khas ibu yang pernah membesarkan anaknya dalam hal ini, institusi Polri dengan darah dan sejarah politik.
“Kritik Ibu Megawati ke polisi dasarnya sayang. Karena beliau yang memisahkan Polri dari ABRI saat jadi Presiden,” ujar Guntur.
Hoegeng, Polisi Idaman, dan Nostalgia Era Bung Karno
Guntur juga mengingatkan bahwa momen di rumah Mery Hoegeng itu bukan cuma soal cium tangan dan politik simbolik.
Tapi juga mengenang Hoegeng, sosok Kapolri yang jadi legenda kejujuran dan ketegasan.
“Pak Hoegeng itu panutan. Dan keluarganya dekat sekali dengan Bung Karno dan Ibu Megawati,” kata Guntur menambahkan.
Kalau ditarik benang merahnya, bisa jadi cium tangan itu bukan sekadar adab sopan.
Tapi semacam rekonsiliasi simbolik. Antara masa lalu yang dihormati, dan masa kini yang butuh dipeluk kembali.
Penulis : Yohanes MW | Editor: Ivan