PRABA INSIGHT – JAKARTA – Kalau sejarah bisa ngomong, mungkin dia sudah geleng-geleng kepala sekarang. Soalnya, di tengah semua ingatan panjang tentang 1998 tentang reformasi, demonstrasi, gas air mata, dan mahasiswa tidur di lantai DPR muncul kabar mengejutkan: ada usulan pemberian gelar pahlawan untuk Presiden Soeharto.
Iya, Soeharto. Orang yang dulu bikin rakyat Indonesia turun ke jalan sambil teriak, “Turunkan harga! Turunkan Soeharto!”
Aktivis 98, Jimmy Fajar, langsung bicara lantang soal ini. Dengan nada kecewa yang bisa bikin meja redaksi bergetar, ia menyebut langkah Fadli Zon dan Saefullah Yusuf dua menteri yang diduga memfasilitasi pemberian gelar pahlawan itu sebagai pelanggaran berat terhadap Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998.
Katanya, “Itu pelanggaran terang-terangan terhadap Ketetapan Lembaga Tinggi Negara.”
Jimmy tidak sedang main-main. Ia bahkan menyebut, jika keputusan itu tetap dijalankan, maka keduanya “harus mempertanggungjawabkan keputusan mereka di mata hukum di kemudian hari.”
Bahasa halusnya: siap-siap, publik bisa marah besar.
Soeharto dan Luka yang Belum Kering
Jimmy Fajar mengingatkan, TAP MPR itu bukan arsip berdebu yang bisa dicabut sesuka hati. Ia menegaskan, keputusan itu masih berlaku, bahkan diperkuat oleh Pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003.
Alasannya sederhana tapi berat:
Soeharto selama 30 tahun berkuasa dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Itu bukan tuduhan baru, tapi sejarah panjang yang sudah disaksikan rakyat. Dari pembungkaman partai politik, tekanan ke ASN dan ABRI agar memilih Golkar, sampai penahanan lawan politik yang kritis semuanya masih jadi catatan hitam demokrasi Indonesia.
“Rakyat Indonesia marah tahun 1998 karena KKN yang merajalela,” ujar Jimmy. “Tapi sekarang, pemerintah justru seperti mau menulis ulang bab itu seolah tak pernah terjadi.”
Ia menilai, langkah ini bukan cuma soal gelar, tapi soal nurani bangsa.
Sebab, Soeharto belum pernah mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Persidangannya dulu dihentikan dengan alasan kesehatan. Dan ya, sampai hari ini, tanggung jawab itu masih menggantung di udara.
Golkar dan Surat yang Aneh
Yang bikin Jimmy makin heran adalah surat dari Fraksi Partai Golkar MPR RI bernomor PP.022/FPG/MPRRI/IX/2024.
Isinya? Permintaan agar MPR menegaskan bahwa pasal tentang Soeharto dalam TAP XI/MPR/1998 dianggap “sudah dilaksanakan” tanpa mencabut ketetapan itu.
Logikanya seperti ini: “Kami tidak cabut, tapi kami anggap sudah beres.”
Dan menurut Jimmy, itu justru lebih berbahaya.
“Kalau mau kasih gelar pahlawan, ya cabut dulu TAP-nya. Jangan pura-pura lupa. Jangan juga mencampur aduk antara penghormatan dengan amnesia politik,” katanya.
Ketika Sejarah Mulai Dipoles
Jimmy menilai, langkah Fadli Zon dan Saefullah Yusuf seperti upaya “pembangkangan terang-terangan terhadap Ketetapan MPR.”
Ia menegaskan, kalau keputusan itu tetap jalan, rakyat bisa turun tangan lagi.
“Rakyat akan menduduki Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Sosial,” ujarnya tegas.
Nada Jimmy terdengar seperti gema reformasi dua dekade lalu: tajam, emosional, tapi logis. Ia menutup dengan kalimat yang lebih keras dari sirine polisi.
“Pecat Fadli Zon dan Saefullah Yusuf karena telah melanggar Ketetapan MPR!”
Refleksi: Antara Gelar dan Nalar
Di ujung semua kegaduhan ini, publik mungkin perlu menarik napas sebentar.
Apakah bangsa ini sedang kekurangan pahlawan sampai harus menggali masa lalu yang penuh luka?
Atau, seperti kata Jimmy Fajar, kita sedang diuji: “Apakah bangsa ini masih punya akal sehat politik?”
Karena, jika setiap keputusan politik bisa mengabaikan sejarah, jangan salahkan kalau generasi berikutnya cuma hafal istilah KKN dari buku, bukan dari peringatan moral.
Kadang, sejarah memang seperti mantan: sudah bikin trauma, tapi tetap saja mau dipanggil “pahlawan”. (Van)






