PRABA INSIGHT- Kalau kamu pikir drama cuma bisa ditemui di sinetron jam tujuh malam, coba tengok dulu apa yang terjadi di Los Angeles, Amerika Serikat, awal Juni ini.
Dalam waktu tiga hari, kota ini berubah dari pusat fashion jadi pusat kerusuhan. Penyebabnya? Bukan karena diskon Zara, tapi karena penggerebekan imigrasi yang bikin panas situasi sampai ke ubun-ubun.
Trump Comeback, ICE Merajalela
Begitu Donald Trump resmi comeback ke Gedung Putih, janji kampanyenya soal menindak tegas imigran ilegal langsung dieksekusi.
Dan seperti biasa, yang jadi korban pertama adalah komunitas Latin di Los Angeles.
Jumat, 6 Juni, petugas dari ICE (Imigrasi dan Bea Cukai) mendadak nongol di kawasan Distrik Fashion wilayah padat pekerja Latin.
Bukan buat beli jaket denim, tapi buat membongkar satu dari empat lokasi yang ditarget lewat surat penggeledahan resmi.
Protes pun pecah. Bukan protes harga kain, tapi protes karena dianggap penggerebekan itu rasis dan semena-mena.
Warga marah, petugas ICE dilempari benda-benda, dan aparat balas dengan granat kejut serta semprotan merica. Situasi makin panas ketika tempat-tempat lain seperti Distrik Westlake dan Paramount juga ikut digerebek.
Dan sebagai penutup aksi Jumat malam, ratusan orang memadati Gedung Federal LA. Mereka melempari polisi dan menyemprotkan grafiti ke tembok.
Polisi bilang, ini sudah bukan protes, tapi kerusuhan. ICE sendiri mengklaim sudah menangkap 121 imigran, termasuk salah satu tokoh penting serikat buruh, David Huerta.
Versi ICE: Huerta menghalangi kendaraan. Versi serikat buruh: dia cuma “mengamati dengan damai”.
Sabtu: Disinformasi dan Bom Molotov
Esok paginya, rumor beredar kalau petugas ICE kembali beraksi di toko perangkat keras di Paramount. Rumor itu berbuntut protes lagi.
Warga turun ke jalan, menuding pekerja harian ditangkap di Home Depot. Padahal, kata Departemen Keamanan Dalam Negeri, itu hoaks.
Tapi nasi sudah jadi bubur (atau mungkin taco?). Protes meledak jadi aksi kekerasan: ada bom molotov yang dilempar ke arah polisi, satu mobil dibakar, dan toko dijarah.
Polisi pakai peluru karet dan gas air mata untuk membubarkan massa. Hasilnya? 29 orang ditangkap, kebanyakan karena “ogah bubar”.
Trump, yang tampaknya nggak bisa santai walau hari Sabtu, langsung main keras: dia perintahkan 2.000 anggota Garda Nasional California buat turun tangan.
Padahal biasanya keputusan kayak gini harus lewat gubernur. Tapi ya, Trump mana peduli.
Minggu: Garda Nasional Turun Gunung
Minggu pagi, suasana Los Angeles makin tegang. Garda Nasional datang lengkap dengan Humvee, bukan buat parade tapi buat jaga Pusat Penahanan Metropolitan. Di seberang toko perangkat keras di Paramount, mereka juga berjaga sambil dilempari hinaan dan diteriaki dengan bendera Meksiko yang berkibar.
Siang harinya, ratusan pengunjuk rasa mendadak menguasai jalan bebas hambatan 101.
Lalu lintas macet, dan seorang reporter BBC sempat menyaksikan sebuah van nyelonong ke arah kerumunan untung nggak ada korban. Sopir ditangkap, tapi suasana tetap memanas.
Sampai malam, kerusuhan masih terjadi. Polisi menyatakan pusat kota jadi lokasi “pertemuan ilegal”, dan pengunjuk rasa mulai melempar beton, botol, dan entah apalagi ke arah petugas. Di hari ketiga ini saja, polisi mencatat ada 27 penangkapan baru.
Protes, Propaganda, dan Politik Imigrasi
Kasus ini bukan cuma soal satu penggerebekan. Ini tentang bagaimana isu imigrasi di Amerika Serikat jadi bola panas yang gampang meledak, apalagi ketika dimainkan oleh politisi yang doyan bikin sensasi.
Trump memanfaatkan kekuasaan, aparat bertindak agresif, dan komunitas Latin merasa jadi sasaran.
Apakah ini akhir dari drama imigrasi di era Trump jilid dua? Entahlah. Tapi satu hal pasti, warga Los Angeles sekarang tahu betul: jalanan bisa berubah jadi medan tempur hanya dalam hitungan jam, dan semua bisa dimulai dari satu gudang di Distrik Fashion.
Kalau artikel ini bikin kamu mikir dua kali sebelum ngomong “imigran itu masalah”, berarti kamu sudah di jalur yang benar.
Dan ingat, di balik angka penangkapan dan pasukan antihuru-hara, ada manusia yang punya cerita, keluarga, dan masa depan yang dipertaruhkan.
Penulis: Yohanes MW | Editor: Irfan