PRABA INSIGHT- JAKARTA – Di negeri yang setiap naik harga cabai aja bisa langsung viral, bicara soal utang negara memang gampang bikin jantung publik deg-degan.
Begitu dengar angka triliunan rupiah, banyak yang langsung merasa kayak dompet sendiri yang kosong. Padahal, menurut R. Haidar Alwi pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute sebagian besar ketakutan itu cuma hasil dari politik yang kebanyakan drama dan kurang logika.
“Bangsa ini tidak akan maju kalau takut pada angkanya sendiri,” kata Haidar, yang juga Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB itu.
“Kalau ekonomi dikelola pakai logika dan niat baik, utang bukan ancaman. Ia justru alat strategis untuk mempercepat kemandirian bangsa.”
Menurut Haidar, rasionalitas ekonomi harus lebih kuat daripada politik ketakutan. Karena bangsa yang terus dicekoki rasa takut bakal kehilangan semangat produktif, dan ujung-ujungnya malah lupa kalau dirinya sebenarnya mampu. “Pembangunan itu tidak lahir dari rasa takut,” ujarnya. “Tapi dari keberanian dan akal sehat.”
Utang Besar, Tapi Masih Dalam Jalur Aman (Dan Elegan)
Buat yang suka panik tiap dengar kata “utang”, ini datanya: per Juni 2025, utang pemerintah Indonesia mencapai Rp9.138,05 triliun.
Kedengarannya ngeri, ya? Tapi tenang dulu. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kita cuma 39,86 persen masih jauh dari batas aman 60 persen yang diatur dalam UU Keuangan Negara.
Menurut Haidar, angka itu justru bukti bahwa Indonesia ini bukan bangsa peminjam yang ceroboh.
“Rasio utang di bawah 40 persen adalah bukti kita bangsa yang dipercaya, mampu mengelola tanggung jawabnya dengan integritas dan kecerdasan,” jelasnya.
Haidar bahkan membandingkan posisi Indonesia dengan negara-negara besar. Rasio utang kita termasuk paling rendah di antara anggota G20. Negara G7 aja banyak yang rasionya udah lewat 100 persen, dan Jepang malah tembus 230 persen PDB. Jadi, kalau ada yang bilang Indonesia “kejebak utang”, ya mungkin mereka perlu buka data, bukan hanya timeline media sosial.
Teknokrat Rasional, Bukan Pemain Drama
Haidar juga memuji Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang baru menjabat sejak September 2025. Menurutnya, tangan Purbaya cukup dingin dalam arti positif karena bisa menjaga disiplin fiskal tanpa bikin ekonomi kaku.
“Purbaya itu teknokrat rasional dan berani. Ia memimpin fiskal dengan data, bukan dengan drama politik,” ujar Haidar.
Buktinya, defisit APBN masih di kisaran 2,6 persen, meski tekanan global lagi kayak roller coaster. Buat Haidar, itu tanda kalau Indonesia tetap disiplin di tengah badai.
“Negara kuat bukan yang tanpa tantangan, tapi yang bisa menjaga neraca fiskalnya tetap stabil di tengah badai global.”
Kedaulatan Rupiah dan Utang Produktif
Data Bank Indonesia per Mei 2025 menunjukkan Utang Luar Negeri (ULN) pemerintah ada di level US$209,6 miliar masih aman. Soalnya, sebagian besar utang itu jangka panjang dan berbunga rendah. Lebih menarik lagi, sekitar 72 persen utang pemerintah berbentuk Surat Berharga Negara (SBN) yang dikelola di dalam negeri, alias dibayar pakai Rupiah sendiri.
“Kalau rakyat jadi pemegang surat utang negaranya sendiri, maka bunga yang dibayar pemerintah akan kembali ke rakyat juga, lewat perputaran ekonomi nasional. Inilah kedaulatan fiskal sejati,” kata Haidar.
Dan jangan lupa, utang ini bukan buat gaya-gayaan politik. Menurut Haidar, sebagian besar dana itu dipakai untuk proyek produktif mulai dari infrastruktur, pangan, teknologi energi, pendidikan, sampai riset.
“Utang produktif itu investasi masa depan, bukan beban generasi. Yang berbahaya itu bukan besar kecilnya utang, tapi arah penggunaannya,” tegasnya.
Melawan Politik Ketakutan dengan Akal Sehat
Di tengah derasnya informasi dan propaganda yang sering lebay, Haidar mengingatkan pentingnya literasi ekonomi publik.
Banyak narasi yang sengaja menakut-nakuti publik soal utang negara. Padahal, katanya, data justru menunjukkan arah sebaliknya: stabil, terkendali, dan dipercaya dunia.
“Politik ketakutan itu tidak membangun. Ia cuma melemahkan kepercayaan publik pada pemerintah, dan akhirnya menurunkan moral bangsa,” ujarnya.
Haidar percaya bahwa rakyat perlu diajak berpikir, bukan digiring panik. “Rasionalitas adalah benteng terakhir Republik,” ujarnya lagi.
Menurutnya, ekonomi yang tumbuh harus dijaga dengan data, kerja nyata, dan niat baik bukan dengan teriakan di ruang publik.
Kepemimpinan yang Tenang dan Visioner
Haidar juga mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang dianggap tetap menjaga arah ekonomi pro-rakyat dan pro-produksi.
Sinergi antara Presiden dan Menteri Keuangan, katanya, menjadi modal besar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi 2026 tetap di atas 5 persen, dengan inflasi yang terkendali.
“Kepemimpinan yang tenang, ilmiah, dan visioner, didukung oleh data rasional itu yang bikin Indonesia tetap berdiri tegak di tengah goncangan global,” kata Haidar.
Tapi Haidar juga mengingatkan: keberhasilan ekonomi bukan cuma soal angka, tapi juga soal moral pembangunan.
“Negara ini harus terus berutang pada cita-cita, bukan pada kepentingan politik,” ujarnya menutup dengan kalimat yang cocok dijadikan kutipan harian.
Rasionalitas, Bukan Ketakutan, yang Bikin Republik Ini Berdiri
Buat Haidar Alwi, rasionalitas adalah fondasi Republik.
Bangsa ini, katanya, nggak akan tumbuh karena rasa takut, tapi karena kecerdasan.
“Ekonomi tidak akan maju karena teriakan, tapi karena kerja, data, dan niat yang lurus,” ujarnya.
Ia menegaskan, kalau politik ketakutan terus dibiarkan, yang rugi bukan cuma pemerintah, tapi seluruh bangsa.
“Politik ketakutan hanya akan membuat bangsa kecil di hadapan tantangan besar. Tapi dengan rasionalitas dan optimisme, Indonesia akan tetap berdiri tegak sebagai bangsa yang berdaulat dan bermartabat,” pungkas Haidar Alwi.






