PRABA INSIGHT – JAKARTA – Bagi R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, kemajuan sejati sebuah negara tidak diukur dari deretan angka di laporan ekonomi atau banyaknya gedung pencakar langit. Ukuran keberhasilan pemerintahan, kata dia, sederhana tapi mendasar: apakah rakyat bisa makan dengan tenang tanpa takut harga naik.
“Negara tidak dinilai dari besarnya gedung atau banyaknya proyek, tetapi dari seberapa tenang rakyatnya makan tanpa takut harga naik. Bila dapur rakyat gelisah, maka hati negara sedang kehilangan arah,” ujar Haidar Alwi.
Pandangan itu seperti tamparan halus di tengah euforia pertumbuhan ekonomi yang kerap dibanggakan. Haidar Alwi memandang bahwa tugas utama negara bukan menciptakan jargon kebijakan, melainkan menghadirkan ketenangan dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya. “Negara yang kehilangan empati terhadap kesulitan warganya sejatinya sedang kehilangan arah moral,” katanya.
Pangan dan Keadilan yang Tak Boleh Sekadar Statistik
Produksi beras Indonesia tahun 2025 tercatat menembus 35 juta ton angka tertinggi dalam tiga tahun terakhir menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Tapi, harga di pasar tetap fluktuatif. Bagi Haidar, masalahnya bukan pada sawah atau petani, melainkan di jalur distribusi yang panjang dan minim pengawasan.
Ia mengingatkan bahwa negara harus hadir di pasar, bukan hanya di rapat kabinet. Pemerintah, katanya, harus mampu menyeimbangkan dua hal: menjaga mekanisme pasar tetap hidup, tapi tidak membiarkan rakyat dimakan spekulasi harga.
“Ekonomi tanpa etika hanya akan melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan sosial,” ujar Haidar.
Karena itu, Haidar menekankan pentingnya mengembalikan roh Pasal 33 UUD 1945 dalam kebijakan ekonomi nasional. Baginya, ayat demi ayat dalam konstitusi itu bukan sekadar teks hukum, tapi pesan moral agar cabang-cabang produksi penting tidak jatuh ke tangan segelintir elite ekonomi. “Itu amanat yang harus dijaga sebagai bentuk keadilan sosial,” katanya.
Prabowo dan Jalan Kemandirian
Haidar Alwi memandang pemerintahan Prabowo Subianto sedang menapaki jalan yang benar. Fokus pada kemandirian pangan dan energi, menurutnya, bukan sekadar program ekonomi, tapi pengejawantahan dari semangat berdikari yang diwariskan para pendiri bangsa.
“Prabowo sedang membangun fondasi agar Indonesia tidak mudah diombang-ambingkan oleh tekanan global dan ketergantungan impor,” ujar Haidar.
Ia menilai, di bawah kepemimpinan Prabowo, arah kemandirian nasional menemukan bentuknya yang paling konkret. Pemerintah tengah berupaya menempatkan rakyat sebagai pusat kebijakan ekonomi, bukan sekadar objek pembangunan.
Namun Haidar juga memberi catatan penting: “Keberhasilan sejati tidak ditentukan oleh besar proyek atau panjang pidato, tapi oleh keberlanjutan moral dalam setiap langkah kebijakan. Pemerintah boleh kuat secara politik, tapi harus lembut terhadap rakyatnya.”
Bagi Haidar, energi menjadi sektor yang paling strategis untuk mewujudkan kemandirian sejati. Ia menilai bangsa yang terlalu bergantung pada bahan bakar impor akan kehilangan kedaulatannya. “Kemandirian energi bukan hanya soal listrik dan minyak, tapi soal martabat bangsa untuk tidak tunduk pada tekanan global,” ujarnya.
Gerakan Nurani: Rakyat Bantu Rakyat
Selain gagasan kebijakan, Haidar Alwi juga menggerakkan semangat gotong royong melalui gerakan sosial Rakyat Bantu Rakyat. Bersama Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, ia menjalankan berbagai program sosial—mulai dari santunan untuk dua juta anak yatim dan dhuafa, hingga program 1.000 ton beras untuk rakyat.
“Kerja kemanusiaan tidak butuh tepuk tangan, yang dibutuhkan adalah ketulusan dan konsistensi,” katanya.
Menurut Haidar, gerakan itu bukan sekadar aksi sosial, tapi strategi kebangsaan untuk memperkuat ketahanan sosial dari bawah.
“Ketika rakyat saling menguatkan, ketahanan bangsa tumbuh lebih kokoh menghadapi guncangan ekonomi apa pun,” ujarnya.
Kemandirian sebagai Martabat Bangsa
Haidar Alwi menutup pandangannya dengan pesan yang meneguhkan: bangsa besar bukan yang sibuk menaklukkan dunia, tetapi yang sabar menyejahterakan rakyatnya.
“Bangsa yang besar bukan yang menaklukkan dunia, tapi yang mampu menenangkan rakyatnya dengan rasa aman, sejahtera, dan penuh harapan,” ucapnya.
Ia menambahkan, kemandirian adalah martabat, dan martabat bangsa hanya bisa dijaga bila pemerintah dan rakyat berdiri di sisi yang sama bekerja, berbagi, dan berjuang demi keadilan yang bisa dirasakan hingga dapur-dapur rakyat. (Van)






