KOLOM ANGKER – Hujan turun deras malam itu ketika Dina, seorang karyawan swasta, tiba di sebuah kota kecil di Jawa Timur untuk perjalanan dinas. Tak ada cahaya selain lampu jalan yang berkelip seperti nyawa yang sebentar lagi padam. Tak sempat mencari hotel modern, ia memilih bangunan besar di seberang stasiun Hotel Wijaya, hotel tua peninggalan Belanda yang catnya terkelupas dan jendelanya berdebu.
Saat pintu berderit terbuka, aroma apek dan karbol basi langsung menyergap. Di dinding, tergantung foto-foto hitam putih orang-orang Belanda berpose dengan wajah datar. Tatapan mereka seolah mengikuti setiap langkah Dina ke meja resepsionis.
“Kamar 308 masih kosong?”
“Masih,” jawab resepsionis itu pelan tanpa senyum. “Tapi… lantai tiga agak sepi malam ini.”
Kunci logam diserahkan. Dingin. Berat. Angka 308 terukir samar, seperti bekas goresan lama yang tak ingin dibaca.
Lorong Lantai Tiga
Lift tua bergerak lambat, suaranya meraung seperti besi digesek. Lampu di dalamnya berkelap-kelip. Sekali, dua kali, lift berhenti tiba-tiba di lantai dua tanpa alasan. Dina menekan tombol lagi ..klik! … lift kembali berjalan, tapi suara langkah pelan terdengar dari atas kabin.
Langkah itu… mengikuti irama napasnya.
Tap… tap… tap…
Ketika pintu lift terbuka di lantai tiga, udara dingin menyambutnya. Lorong panjang itu sunyi, hanya ada suara gemerisik halus seperti kain diseret di lantai karpet.
Kamar 308 berada di ujung lorong. Saat kunci dimasukkan, suara “klik” terdengar… lalu pintu terbuka perlahan, sendiri.
Malam Pertama
Kamar itu tampak tua tapi rapi. Ranjang besar, lemari kayu jati, dan cermin tinggi di sudut ruangan. Lampu gantung berayun pelan meski tak ada angin.
Dina menaruh kopernya dan duduk di tepi ranjang. Udara kamar terasa aneh dinginnya seperti keluar dari dinding, menusuk tulang. Ia mencoba menenangkan diri.
Namun begitu lampu dimatikan, terdengar suara langkah kaki dari lorong. Pelan. Menyeret.
Tap… tap… sreeek… tap…
Langkah itu berhenti tepat di depan pintunya. Dina menunggu, menahan napas. Tidak ada yang mengetuk.
Ia mengintip dari lubang pintu lorong kosong.
Saat ia berbalik ke ranjang .. BUM!
Bantal di sisi ranjang terlempar jatuh sendiri.
Dina menatap kosong. Ia berusaha tertawa gugup. “Mungkin angin…”
Tapi tidak ada jendela yang terbuka.
Bayangan di Cermin
Pukul dua lewat lima belas dini hari. Dina terbangun oleh suara “tok… tok… tok…” dari lemari.
Tiga ketukan.
Diam.
Lalu tiga ketukan lagi, kali ini lebih keras.
Ia mendekat perlahan, menggenggam ponselnya sebagai penerangan. Saat membuka pintu lemari kosong. Hanya pakaian hotel yang tergantung rapi. Tapi begitu ia menutupnya kembali, refleksi di cermin di belakangnya berubah.
Ada seseorang berdiri di sana.
Seorang wanita. Rambutnya panjang menutupi wajah, pakaiannya basah kuyup seolah baru keluar dari sumur.
Dina membeku. Cermin bergetar pelan, lalu wanita itu menoleh… pelan sekali… hingga wajahnya terlihat jelas.
Matanya hitam kosong. Mulutnya ternganga lebar.
Dan dari dalam cermin terdengar bisikan—
“Kembalikan tempatku…”
CRACK!
Cermin retak tanpa sebab. Potongan kaca kecil jatuh ke lantai. Dari sela retakan, seperti ada sesuatu yang bergerak… merayap keluar.
Ketika Lampu Padam
Dina menjerit, menyalakan semua lampu — tapi tiba-tiba listrik padam. Gelap total.
Suara napas berat terdengar di belakangnya.
Hhh… hhh… hhh…
Sesuatu menyentuh bahunya. Dingin seperti es.
Ia menoleh cepat tidak ada siapa-siapa.
Namun di cermin retak itu, bayangan wanita itu kini berdiri tepat di belakangnya, lebih dekat, senyumnya melebar tak wajar.
Dan tiba-tiba
“BRAAAK!!”
Cermin pecah seluruhnya.
Dina berlari ke pintu. Gagang pintu terasa membeku, tak bisa diputar.
“Jangan pergi…”
Bisikan itu kini terdengar di telinganya langsung, begitu dekat sampai ia bisa merasakan hembusan napasnya.
Ia berdoa sekuat hati, mengguncang pintu, menangis.
Dan ketika ia berteriak untuk terakhir kalinya—pintu terbuka.
Rahasia Kamar 308
Dina berlari ke lobi. Pakaian dan rambutnya berantakan. Wajahnya pucat seperti kertas.
Resepsionis menatapnya tanpa kaget.
“Mbak, kamar 308, ya?”
Dina hanya mengangguk lemah.
“Kamar itu… sudah kami tutup sejak lama. Tapi entah kenapa setiap malam hujan, kuncinya selalu muncul lagi di laci depan.”
Dina membeku.
“Katanya, dulu ada wanita muda yang bunuh diri di kamar itu. Mayatnya ditemukan di depan cermin, dengan wajah remuk tertabrak pecahan kaca.”
Ia tak bisa tidur malam itu. Di kamar barunya, lampu sudah dimatikan, tapi dari dinding kamar sebelah terdengar suara samar:
tok… tok… tok…
“Bolehkah aku masuk?”
Sejak malam itu, Dina tak pernah mau menginap di kamar bernomor 308 di mana pun.
Karena setiap kali angka itu muncul di kunci hotel, entah mengapa…
Cermin di hadapannya selalu berembun.
Dan dari balik embun itu, samar-samar terlihat wajah pucat yang tersenyum menunggu.
Penulis : Ris Tanto | Editor : Ivan
Disclaimer: Tulisan ini bersifat fiktif dan terinspirasi dari cerita rakyat serta legenda urban di masyarakat. PRABA INSIGHT senantiasa menjunjung nilai jurnalistik berimbang dan menyajikan informasi yang dapat dipercaya.






