PRABA INSIGHT- Bekasi, kota para pejuang LDR dengan Jakarta, ternyata menyimpan satu tradisi unik yang bikin para perantau geleng-geleng kepala:
undangan pernikahan yang lebih mirip brosur “soft launching orang tua” daripada selebaran nikahan anak.
Coba Anda bayangkan. Sebuah undangan mewah, berwarna keemasan, dicetak glossy dengan hiasan bunga-bunga melingkar cantik.
Tapi begitu dibuka, yang nongol besar-besar: foto bapak-ibunya dengan pose khidmat, mirip momen wisuda anak sulung.
Si pengantin? Ya ada… tapi kecil, mungil, terpinggirkan di bawah logo catering.
Inilah tradisi undangan ala Bekasi. Di kota ini, yang menikah boleh saja anaknya, tapi yang tampil di panggung eh..maksudnya, di undangan tetap orang tua.
“Awalnya saya kira ini semacam seminar parenting,” kata Dilla, perantau asal Bandung, yang sempat bengong 5 menit setelah dapat undangan teman SMA-nya yang tinggal di Bekasi.
“Ternyata, ya ampun, acara nikahan. Tapi kok kayak reuni orang tua murid?”
Fenomena ini bukan kasus satu dua. Ini sudah jadi kultur, bahkan bisa jadi bahan skripsi antropologi. Dalam undangan khas Bekasi, selalu ada kalimat sakral berbunyi:
“Dengan memohon rahmat dan ridho Allah SWT, kami yang berbahagia Bapak H. Si Fulan & Ibu Hj. Si Fulanah, mengundang Bapak/Ibu/Saudara/i untuk menghadiri pernikahan putra-putri kami.”
Kalimat ini sering diikuti nama anak yang disisipkan seperti catatan kaki: kecil, sopan, dan tidak mengganggu center of attention yang hakiki yakni orang tua.
“Di sini mah anak itu belum punya panggung. Nikah aja masih numpang kemewahan nama orang tua,” canda Dede, warga asli Jatibening.
“Yang penting, orang tuanya dikenal. Anak mah belakangan.”
Tak cukup dengan hanya dua nama, undangan-undangan ini sering kali juga menyertakan daftar “turut mengundang” yang panjangnya bisa bikin Anda mikir ini mau nikah atau kampanye pilkades.
Ada tetua kampung, Saudara angkat, Ketua Ormas, saudara jauh dari Brebes, Amerika, Korea, sampe grup arisan komplek. Lengkap.
Tinggal kurang RT-RW dan pelatih futsal anak.
Di balik keanehan ini, sebenarnya ada niat baik: memperkuat silaturahmi dan menunjukkan kalau acara ini bukan cuma urusan anak, tapi satu keluarga besar.
Masalahnya, kadang jadi agak berlebihan. Apalagi ketika calon mempelai malah jadi cameo di hajatan sendiri.
Beberapa warga perantauan bahkan menyebut ini sebagai bentuk “praktik feodalisme undangan”.
Tapi ya, bukankah semua daerah punya caranya sendiri untuk menunjukkan rasa bangga? Dan bagi orang Bekasi, menikahkan anak bukan cuma soal akad dan resepsi tapi juga soal eksistensi keluarga.
Tentu tidak semua undangan seperti ini. Generasi Z mulai membawa angin perubahan.
Ada yang sudah mulai tampil dengan konsep pre-wedding bak model Korea, ada yang menulis undangan digital dengan emoji, bahkan ada yang nekat pakai Canva tanpa konsultasi tetua.
Tapi tetap, foto orang tua di tengah undangan belum tergoyahkan.
Sampai kapan? Entahlah. Tapi satu hal pasti: di Bekasi, menikah bukan cuma soal dua orang.
Ini soal seluruh silsilah keluarga dan gengsi tetangga.
Jadi kalau Anda suatu hari dapat undangan dengan foto sepasang bapak-ibu mengenakan baju adat sambil tersenyum bangga, jangan buru-buru berpikir itu acara mereka.
Coba baca pelan-pelan: mungkin anaknya yang mau kawin, tapi ya… cuma numpang nama.