PRABA INSIGHT- JAKARTA – Drama hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) kembali memanas. Empat aktivis, yang diduga menghasut aksi unjuk rasa berujung ricuh pada Agustus lalu, harus menerima kenyataan pahit: seluruh permohonan praperadilan mereka ditolak.
Keempat aktivis itu adalah Delpedro Marhaen, Khariq Anhar, Muzaffar Salim, dan Syahdan Husein. Hakim tunggal Sulistiyanto Rokhmad Budiharto dalam amar putusannya menegaskan, penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya sah secara hukum.
“Satu, menolak permohonan praperadilan pemohon seluruhnya. Dua, membebankan biaya perkara kepada pemohon sejumlah nihil,” ujar Sulistiyanto, Senin (27/10/2025).
Hakim menyebut bukti yang menguatkan penetapan tersangka ditemukan melalui media sosial. “Termohon melakukan pemeriksaan terhadap para saksi, menemukan barang bukti berupa tangkapan layar dari media sosial yang relevan, dilakukan sejak 25 hingga 29 Agustus 2025. Gelar perkara dilakukan 29 Agustus 2025 dan status penyelidikan ditingkatkan ke penyidikan,” jelasnya.
Polda Metro juga telah menyampaikan penetapan tersangka dan penangkapan Delpedro kepada keluarganya. Hakim menegaskan penggeledahan yang dilakukan terhadap Delpedro telah mendapat izin pengadilan.
Kecewa Berat, Kuasa Hukum Anggap Aktivis Jadi Kambing Hitam
Al Ayubbi Harahap, kuasa hukum Delpedro dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), mengaku kecewa dengan putusan tersebut.
“Jelas, kita sudah mendengar putusan hakim tunggal praperadilan. Tentu kami sangat kecewa. Saya ingin sampaikan kepada publik, sudah tidak ada tempat bagi kelompok kritis di negara ini,” ujar Al Ayubbi.
Yubbi menegaskan, Delpedro dan tiga rekannya merupakan tahanan politik, dijadikan kambing hitam untuk menutupi penanganan kerusuhan 25 Agustus. “Padahal mereka tidak pernah melakukan kekerasan apapun. Majelis hakim hanya mempertimbangkan alat bukti, tapi kami sudah jelaskan Delpedro tidak pernah diperiksa sebagai saksi atau calon tersangka,” tambahnya.
Lokataru Soroti Delapan Kejanggalan Proses Hukum
Selain kuasa hukum, Lokataru Foundation menyoroti delapan kejanggalan dalam penangkapan dan penetapan Delpedro Cs, yang dianggap melanggar due process of law dan hak asasi manusia.
Manajer Penelitian Lokataru, Hasnu, menjelaskan:
- Penangkapan tanpa prosedur – Delpedro Cs ditangkap tanpa pemanggilan resmi dan tanpa jelas tuduhan.
- Hak tersangka dilanggar – Pemohon tidak pernah dihadirkan di sidang.
- Permintaan menghadirkan tersangka diabaikan – Tim hukum ingin mereka hadir, tapi tidak digubris.
- Akses hukum timpang – Posisi pemohon dan termohon tidak setara.
- Independensi hakim dipertaruhkan – Intervensi pihak luar bisa mengganggu keadilan.
- Bukti saksi anak dipaksakan – Bukti dianggap tidak sah, tapi tetap digunakan.
- Diskresi penyidik disalahgunakan – Penetapan tersangka tanpa pemeriksaan dianggap melawan hukum.
- Penangkapan tanpa sepengetahuan keluarga – Delpedro dan Muzaffar ditangkap tanpa pemberitahuan pihak keluarga.
“Kasus ini bukan sekadar soal prosedur, tapi soal keberpihakan hukum pada keadilan dan kemanusiaan,” tegas Hasnu.
Isak Tangis Ibu Delpedro Pecah di Sidang
Suasana sidang semakin haru ketika Magda Antista, ibu Delpedro, pecah menangis usai hakim menolak gugatan praperadilan anaknya. Magda berulang kali menegaskan anaknya tidak bersalah dan hanya membela rakyat.
“Anakku gak bersalah, anakku hanya membela rakyat,” ucapnya histeris. Magda bahkan menegaskan akan menuntut pihak yang menzalimi anaknya di akhirat. Suami dan keluarga terus menenangkan Magda yang terus menangis.
Proses Hukum Terus Berlanjut
Sidang praperadilan untuk Khariq Anhar dipimpin hakim tunggal Sulistyo Muhamad Dwi Putro, yang juga menolak seluruh permohonan. Dengan demikian, proses penyidikan terhadap seluruh aktivis yang diduga menghasut aksi ricuh Agustus lalu akan terus berjalan.(van)






