Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, lagi-lagi jadi sorotan. Bukan karena kebijakan, bukan juga soal infrastruktur, tapi… skripsi.
Yup, skripsi masa kuliahnya di Fakultas Kehutanan UGM kembali dipertanyakan validitasnya oleh segelintir pihak yang sepertinya punya waktu luang berlebih.
Menanggapi kehebohan yang menurutnya sudah kadaluarsa itu, Jokowi angkat bicara langsung dari rumahnya pada Jumat (23/5).
Dengan gaya khasnya yang santai tapi menusuk, beliau menyampaikan, “Skripsi ini ada di perpustakaan Fakultas Kehutanan. Ada. Dulu kita nyerahinnya ke bagian pengajaran. Kan ada semua. Dicek lagi aja.”
Yang dipersoalkan bukan sekadar fotokopi ijazah, tapi sampai detil-detil level font dan alat cetak. Sungguh teliti sekali. Sampai-sampai Jokowi merasa ini seperti audit hidup.
“Setelah ngecek ijazah, ngecek skripsi. Nanti ngecek KTP, KK, SIM. Semua dicek semua,” ujar beliau, mungkin sambil mengelus dada (atau kepala staf?).
Masalahnya dimulai lagi ketika Roy Suryo mantan Menpora, pegiat telematika, sekaligus “detektif part-time” dan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) mengungkap adanya dugaan kejanggalan pada skripsi Jokowi yang mereka lihat di UGM pada 15 April 2025.
Menurut Roy, bagian inti skripsi ditulis dengan mesin ketik, sementara halaman-halaman awal dicetak menggunakan printer.
Ia juga mengaku tak menemukan lembar pengesahan dari dosen penguji. “Aneh,” katanya.
Padahal, Bareskrim Polri sudah turun tangan. Mereka bukan cuma tanya-tanya ke saksi, tapi juga bawa bukti ke laboratorium dan membandingkan dengan dokumen milik teman seangkatan Jokowi. Hasilnya? Sah. Asli. Tidak rekayasa.
Tapi, ya, begitulah. Ketika politik sudah jadi medan perang narasi, bahkan urusan skripsi yang mestinya cuma kenangan buruk mahasiswa semester akhir, bisa jadi bahan gorengan yang tak ada habisnya.