KOLOM ANGKER – Nama saya Parlan Efendi. Malam itu saya pulang dari Yogyakarta ke Sleman, jalanan biasa saja lampu jalan menyala, motor matic butut saya masih sehat. Tapi malam itu… saya baru sadar, normalitas itu hanyalah tipuan.
Di sebuah halte kecil dekat jalur Pemakaman Tridadi, saya melihat seorang wanita berdiri sendiri. Dia melambaikan tangan. Penampilannya normal: blazer hitam, rok selutut, rambut rapi. Tidak ada yang aneh… sampai saya melihat matanya. Kosong. Dalam. Ada sesuatu yang tidak wajar.
“Mas, boleh saya numpang? Saya sudah pesan taksi, tapi belum datang. Tempat ini sepi… saya takut sendirian,” katanya pelan. Suaranya menenangkan, tapi ada getaran halus di ujung nada itu getaran yang membuat kulit meremang.
Rasa kasihan mengalahkan firasat. Saya mengangguk. Dia naik ke boncengan. Namanya Riska. Obrolan awal terasa normal. Suaranya lembut, wajahnya manusiawi… tapi malam itu punya rencananya sendiri.
Beberapa menit kemudian, ia berkata, “Mas, nanti saya turun di dekat pemakaman ya. Rumah saya tidak jauh dari situ.”
Hati saya mulai berdegup tak menentu. Pemakaman Tridadi… terkenal angker. Jalan yang tadinya ramai berubah perlahan: lampu jalan redup, kendaraan lenyap, kabut tipis menjalar di permukaan aspal. Angin malam menderu dingin, menampar wajah saya. Suara ranting patah terdengar… dekat… terlalu dekat.
Riska tetap diam. Saya melirik spion wajahnya datar, kaku. Bulu kuduk meremang, tubuh gemetar. Dari semak-semak, terdengar suara langkah tipis… mengikuti saya… mendekat… lalu berhenti tepat di belakang motor.
Tiba-tiba motor mati. Starter tidak menyala. Dari atas kepala, terdengar suara tetesan tak… tak… tak… Menetes di helm saya.
Saya menengadah. Sosok putih tergantung terbalik di dahan pohon besar, rambut panjang menjuntai, punggung berlubang besar, darah hitam ke merah menetes perlahan. Mata saya terpaku. Sosok itu bersenandung lirih, sendu… tapi nadanya menusuk ke tulang, memutar kepala saya, membuat seluruh saraf menegang.
Saya kaku. Angin malam berdesir keras, suara daun berderak seperti jeritan tak terlihat. Dari semak, terdengar bisikan: “Tolong… antar aku…”
Tubuh saya lumpuh, kaki tak bisa digerakkan. Mata saya terpaku pada sosok itu, yang kini mulai menunduk, rambut menjuntai menutupi wajahnya.
Panik, saya lari. Motor ditinggal. Nafas tersengal, kaki hampir tersandung akar dan batu. Suara langkah tipis mengikuti, kadang di kanan, kadang di kiri. Saya berlari tanpa arah, sampai menemukan gubuk kecil.
Saya masuk. Bau anyir menusuk hidung, udara dingin menggigit tulang. Kain putih lusuh berserakan, keranda-keranda tersusun acak. Suara saya sendiri terdengar nyaring, bergema… tapi bukan itu yang membuat saya hampir gila.
Dari sudut gelap gubuk, terdengar suara tangisan perempuan. Tidak hanya satu, tapi beberapa. Nada mereka meresap ke dalam kepala, menjerat pikiran. Saya pingsan di antara keranda itu.
Ketika sadar, fajar mulai menyingsing. Motor saya berdiri tegak di gerbang pemakaman. Kabut tipis menari di sekitar batu nisan. Riska hilang. Sosok putih juga. Hanya bayangan yang terasa hidup, bergerak di tepi pandangan saya, selalu menunggu.
Saya berjalan perlahan, tubuh gemetar. Dari kejauhan terdengar bisikan lirih, langkah tipis yang mendekat, menjauh, lalu berhenti seolah mengintai.
Akhirnya, saya bertemu seorang bapak tua. “Sampeyan pasti ketemu sundel bolong, Mas,” katanya pelan tapi tegas.
Dia menjelaskan: arwah penari tayub zaman Belanda, mati tragis, ditenggelamkan di rawa. Arwahnya tidak pernah tenang. Ia menampakkan diri pada pengendara malam, meminta diantar… lalu menghilang di sekitar pemakaman.
Sejak malam itu, saya tidak pernah melewati jalur pemakaman Tridadi malam hari. Kadang, ketika malam sepi dan kabut tipis menyelimuti sawah, saya masih bisa merasakan tatapan Riska… atau sundel bolong itu… dari balik kegelapan, menunggu… menatap… dan mengingatkan: di dunia ini, ada yang tidak bisa dijelaskan dengan logika manusia.
Penulis : Ris Tanto | Editor : Ivan
Disclaimer: Tulisan ini bersifat fiktif dan terinspirasi dari cerita rakyat serta legenda urban di masyarakat. PRABA INSIGHT senantiasa menjunjung nilai jurnalistik berimbang dan menyajikan informasi yang dapat dipercaya.






