PRABA INSIGHT – Sudah lewat 100 hari sejak Fachri Husni Alkatiri dilantik sebagai Bupati Seram Bagian Timur (SBT). Tapi kalau rakyat berharap ada gebrakan seperti sinetron laga tayang perdana, yang datang justru slow motion tanpa klimaks.
Janji kampanye soal kesejahteraan, pembangunan, dan kehidupan yang lebih baik sementara ini masih berstatus “dalam proses”, atau lebih tepatnya, belum kelihatan sama sekali. Masyarakat pun mulai bertanya-tanya, ini mau kerja atau masih sibuk evaluasi sambil ngopi?
Kritik Datang, Bukan dari Oposisi, Tapi dari Yang Peduli
Suara kritis muncul dari Abdullah Kelrey, pendiri Nusa Ina Connection (NIC). Ia terang-terangan menyayangkan stagnasi yang terjadi di SBT dalam 100 hari terakhir.
“Segudang permasalahan masih terjadi. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda nyata bahwa kesejahteraan masyarakat akan menjadi prioritas utama,” ucap Kelrey.
Kalimatnya memang halus, tapi isinya bisa bikin kepala daerah mules. Intinya: program kerja belum kelihatan, solusi juga belum terasa. Yang muncul malah dalih klasik yang selalu jadi langganan: “itu bukan kewenangan kami”.
Dalih “Itu Proyek Provinsi” Udah Ketinggalan Zaman
Kelrey mengingatkan, jangan sampai pemda menjadikan kewenangan sebagai tameng. “Itu proyek pusat,” “Itu wewenang provinsi,” “Kita belum punya otoritas” kalimat-kalimat semacam ini, kata Kelrey, adalah bentuk penghindaran dari tanggung jawab, bukan klarifikasi.
“Kami tidak ingin dalam setahun ke depan masyarakat hanya mendengar alasan klasik: ‘ana seng ada kewenangan.’ Itu bukan jawaban, tapi bentuk penghindaran tanggung jawab,” tegasnya lagi.
Kalau semuanya dilempar ke pusat dan provinsi, lantas fungsi pemerintah kabupaten ngapain? Tunggu anggaran turun sambil nonton TikTok?
Rakyat Butuh Bukti, Bukan Basa-Basi
100 hari pertama itu bukan soal menyulap segalanya jadi sempurna. Tapi paling tidak, ada arah. Ada peta jalan. Ada tanda-tanda bahwa janji kampanye bukan sekadar teks spanduk. Minimal ada satu-dua program strategis yang diluncurkan, terutama di sektor-sektor dasar kayak infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan.
Sayangnya, hasil pantauan sejumlah aktivis dan pemerhati daerah menunjukkan bahwa langkah konkret belum juga kelihatan. SBT masih seperti mobil mogok: dinyalakan terus, tapi mesinnya nggak hidup-hidup.
Seratus Hari Itu Bukan Waktu Singkat
Dalam logika politik, seratus hari adalah waktu krusial untuk menunjukkan keseriusan. Kalau dalam tiga bulan lebih saja belum ada geliat, jangan salahkan rakyat kalau mulai malas berharap.
Apalagi masyarakat SBT bukan baru sekali dibohongi. Mereka tahu, janji bisa dibuat siapa saja, tapi menjalankan dengan konsisten? Itu urusan pemimpin sejati.
Penulis : Stefanie Lengka | Editor: Ivan