PRABA INSIGHT – Tambang ilegal di Gunung Botak, Pulau Buru, makin ke sini makin tak tahu diri. Sianida berseliweran, emas berpindah tangan, aparat justru dianggap tutup mata.
Yang geram bukan cuma warga, tapi juga Gerakan Muda Nasional (GEMA NASIONAL) yang langsung menyorot tajam kinerja aparat kepolisian.
Mereka mendesak Mabes Polri untuk mencopot Dirkrimsus Polda Maluku, yang dinilai melakukan pembiaran terhadap praktik tambang ilegal yang merajalela di wilayah tersebut.
Ketua Umum GEMA NASIONAL, Eko, menyampaikan dengan lugas dan tanpa basa-basi bahwa ada indikasi keterlibatan atau minimal pembiaran secara sengaja oleh oknum aparat dalam praktik tambang ilegal ini.
“Pasokan sianida dan pembelian emas secara ilegal di Tambang Gunung Botak yang melibatkan nama-nama seperti Haji Anas, Haji Komar, dan Haji Markus, menunjukkan adanya garis koordinasi yang mencurigakan antara mafia tambang dengan Dirkrimsus Polda Maluku,” tegas Eko.
Eko menyebut para pemain lama di balik tambang emas ilegal ini masih bebas masok sianida dan beli emas dari penambang lokal tanpa ada penindakan berarti dari pihak berwenang.
Semuanya mengalir lancar kayak jalan tol. Bedanya, yang ini nggak bayar pajak, tapi tetap beres.
“Kami menduga keras adanya pemufakatan jahat untuk mengatur pembelian emas secara satu pintu. Oleh karena itu, Mabes Polri perlu mendalami secara serius keterlibatan pihak-pihak dalam peredaran sianida dan jual beli emas di Gunung Botak,” lanjut Eko.
Satu pintu dalam dunia birokrasi biasanya berarti efisien. Tapi dalam kasus ini, satu pintu malah terkesan eksklusif dan mengarah pada pengendalian pasar oleh mafia.
Dan ya, yang namanya emas, begitu digenggam mafia, yang rugi tentu negara plus lingkungan sekitar yang rusak tanpa ampun.
Menurut data GEMA NASIONAL, sekitar 100 kilogram emas keluar dari Gunung Botak tiap bulan dari aktivitas tambang ilegal. Jumlah yang cukup buat bikin satu koper diplomat isinya penuh kilau dosa.
Yang juga disoroti Eko adalah pola penegakan hukum yang jauh dari rasa adil. Ia menuding ada praktik penangkapan yang tebang pilih, seperti warung makan yang pilih-pilih pelanggan.
“Kami menilai adanya praktik penangkapan tebang pilih oleh penyidik, yang tidak didasarkan pada prosedur dan aturan yang benar dalam KUHAP, dan menunjukkan pola penegakan hukum yang tergantung pada ‘selera’ penyidik,” kata Eko.
Selera itu biasanya soal makanan. Tapi kalau hukum sudah pakai selera, ya sudah, tinggal tunggu giliran siapa yang “enggak cocok rasa” dengan penyidik.
Maka dari itu, GEMA NASIONAL meminta agar Mabes Polri jangan cuma melihat masalah ini dari jauh, tapi langsung turun tangan secara tegas dan transparan.
“Untuk itu, Mabes Polri harus segera bertindak transparan dalam penanganan masalah-masalah terkait peredaran sianida dan pembelian emas ilegal ini. Publik berhak tahu kejelasan dan akuntabilitas penegakan hukum di sana,” pungkas Eko.
Penulis : Yohanes MW | Editor: Irfan