Menu

Mode Gelap
Luhut Umumkan Utang Kereta Cepat Diperpanjang 60 Tahun, SIAGA 98: ‘Aneh dan Tidak Lazim’ “Segala kekuatan dan kesanggupan mempertahankan Kemerdekaan yang ada pada mereka. Tidak akan surut seujung rambut pun” Bukan Cinta yang Abadi, tapi Utang Kereta Cepat Luhut Pastikan Tenornya 60 Tahun! Dedi Mulyadi Mau Cek ke BI Soal Dana Rp 4,17 Triliun: “Kalau Benar, Saya Pecat Semua Pejabat Saya!” Menkeu Purbaya Soroti Jual-Beli Jabatan di Bekasi: Reformasi Tata Kelola Daerah Belum Selesai Ribuan Orang Padati Velodrome, Haidar Alwi Tegaskan: “Polri Harus Tetap di Bawah Presiden Prabowo”

OPINI

“Segala kekuatan dan kesanggupan mempertahankan Kemerdekaan yang ada pada mereka. Tidak akan surut seujung rambut pun”

badge-check


					Dinno Brasco
(Pengurus Pusat GP ANSOR & Cand. Magister Universitas Paramadina) (Foto: Doc. Pribadi/Istimewa) Perbesar

Dinno Brasco (Pengurus Pusat GP ANSOR & Cand. Magister Universitas Paramadina) (Foto: Doc. Pribadi/Istimewa)

OPINI :

Oleh Dinno Brasco

(Pengurus Pusat GP ANSOR & Cand. Magister Universitas Paramadina)

“They cannot represent themselves, They must be represented”

Karl Marx,

The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte

PRABA INSIGHT – Mohon izin ya Bang Haji, nyruput kopi sambil sharing sebuah kisah dan cerita.

Kisah tentang sejarah keren, aduhai, dan mantap. Perihal kisah

Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari, tentang Indonesia, tentunya tentang

kamu dan cinta Tanah Air, yaitu kisah anak bangsa memperingati Hari Santri

Nasional, 22 Oktober. Pernahkah Anda mendengar kisah Resolusi Jihad 1945

yang dimaklumatkan Hadratussyaikh? Pastinya pernah denger dong! Pendiri

NU dan tokoh bangsa yang menyelamatkan bayi Republik.

Saya mau cerita saat muda waktu sowan ke mabes PBNU, saat masuk ruangan

pribadi Gus Dur. Melihat sebuah lukisan yang luar biasa dan begitu inspiring.

Tertulis dalam lukisan, pahatan tulisan: Jejak-jejakmu merahimi kebangkitan.

Ya, tentang merahimi kebangkitan. Dirimu, diri kita memang harus bangkit

dari kebodohan menuju kearifan, hijrah dari keterpurukan menuju

kreativitas, dari pesimisme menuju optimisme. Indonesia yang gini-gini aja

menjadi maju, bangkit dan ngeri, tentunya dengan Visi Asta Cita sebagai

bintang penuntun. Katanya orang pinter, tentunya pejabat sih!Rakyat kita saat ini berjumlah lebih dari 270 juta. Bukan hanya kuantitas dan

jumlah, tapi kualitas, pikiran, dan inovasi. Seperti yang pernah disampaikan

aktor Bollywood bernama Amitabh Bachan mertuanya Aishwarya Rai

Bachchan dalam orasi film berjudul The Pad Man yang juga dibintangi Akhsay

Kumar. “Jumlah 1,5 milyar penduduk India adalah juga 1,5 milyar pikiran dan

inovasi,”begitu kata Om Bachan. Luar biasa!

Saat ini dengan perasaan haru-biru, kita mengenang Resolusi Jihad. 22

Oktober 1945 yang diserukan oleh Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari dan

barisan santrinya. Apalagi dioperasi oleh Trans TV yang ingin

‘menghancurkan nama Santri dan Kiai.’ Kan kakeane mereka, jamaah Si anak

Singkong.

Hadratussyaikh meminta rakyat dan santri untuk mempertahankan bayi

Republik ini menjadi contohnya yang paling membahana, kata putri Gus Dur,

Alissa Wahid. Akibatnya, 200 ribu rakyat dan santri gugur dalam jihad di

medan laga Surabaya, 10 November 1945. Namun, Republik ini terselamatkan

dari penjajah baru alias garong NICA yang kembali menancapkan kaki di bumi

Nusantara. Semua itu berkat perjuangan rakyat bersama santri-Kiai.

SENANDUNG PENJARAHAN

Kisah kita berawal ketika gerombolan manusia berekor dari dunia lain

menjajah manusia lainnya. Mereka ingin menguasai, memenuhi, menjarah

kembali dan menghancurkan penggalan surga di bumi. Sebelum itu terjadi,

para kiai dan santri bangkit bersaksi, berkorban untuk sebuah kemerdekaan

negeri, demi rakyat dan ilahi.

Dalam bahasa Bung Karno, mereka para penjajah tidak punya rezeki di

negaranya, akhirnya memetakan negara, bahkan dunia untuk dirampok dan

dijarah. Perjanjian Tordesillas adalah bukti nyatanya, membagi dunia hanya

milik Spanyol dan Portugis. Indonesia, Asia, Afrika, Timur-Tengah adalah

targetnya. Bener-bener parah mereka. Barbar soal harta dunia dan

menghabisi kemanusiaan, sebagai kini yang terjadi di Palestina yang

dilakukan serigala Israel.Begitulah yang terjadi pada sejarah bangsa kita dulu. Kisah fatwa Resolusi

Jihad 45 yang digerakkan oleh pendiri NU, yaitu Hadrattussyaikh adalah

untuk membela, mempertahankan bayi Republik. Sebuah perlawanan suci

melawan para penjarah bangsa. Ya, tentang Resolusi Jihad 45!

Bagaimanakah kita membayangkan rakyat Indonesia di Surabaya, 80 tahun

yang lalu, saat mereka menghadapi maut, dengan ketulusan tanpa pamrih,

membela Tanah Air-nya dengan berbekal hubbul wathan minal iman. Sebuah

negeri akan dimakmurkan dengan kecintaannya pada Tanah Air, umiratil

buldan bihubbil awthan, begitulah dawuh suami tercinta Sayyidah Fatimah Az

Zahra, putri tersayang Rasulullah Saw.

Ketika Mayor Jenderal R.C Mansergh, Panglima Tentara Darat Sekutu

mengancam, mengultimatum bangsa Indonesia serta pemimpinnya untuk

menyerah bersama seluruh persenjataannya, terjadilah pertempuran dahsyat,

tawuran massal di kota arek-arek Suroboyo. Santri dan rakyat melakukan

perlawanan sebagai reaksi atas ancaman gerombolan Inggris yang menghina

bangsa dan kemerdekaan Indonesia. Tak kurang dari 200 ribu lebih

‘gladiator-gladiator bangsa’ meninggal dan syahid. Merdeka atau Mati!

begitulah semboyannya. Sebuah pengorbanan tanpa pamrih, membela

martabat, harga diri, dan menyelamatkan bayi republik.

“Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, pondok pesantren menjadi markas-markas

Hizbullah-Sabilillah. Pengajian kitab-kitab telah berganti menjadi pengajian

tentang caranya menggunakan karaben, mortir, dan cara bertempur dalam

medan-medan pertempuran.” Kenang Kiai Saifuddin Zuhri dalam buku Guruku

Orang- Orang Pesantren.

Lihat saja, betapa pasukan gabungan Inggris yang baru saja memenangkan

Perang Dunia II mengalahkan geng militer Roberto (Roma, Berlin, Tokyo, dan

Nazi pimpinan Adolf Hitler). Dengan keahlian dan pengalaman perang,

bertempur, penuh dengan kelengkapan senjata, mereka kewalahan

menghadapi perlawanan santri dan rakyat. Kota Surabaya, bagi pasukan NICA

adalah neraka tergelap dalam hidupnya. Sekali dan selamanya, kami takkan

pernah lagi menginjakkan kaki di bumi Kanjeng Sunan Ampel dan waliyullah,demikianlah isi laporan dari dinas intelijennya. Mereka membawa kisah pilu

saat balik ke negaranya dengan seribu bara api, trauma di jiwanya.

Sejak saat itu hingga kini zaman digital, santri setia bersumpah memperingati

kepahlawanan, patriotisme dan berusaha mengambil hikmah dan teladan dari

sebuah pengorbanan. Tindakan besar dan pikiran selevel raksasa dalam hidup

mereka, mempertahankan kemerdekaan bayi Republik, membuat Indonesia

tetap ada untuk anak cucu dan semua anak bangsa hingga akhir masa.

TENTANG CINTA

Memikirkan itu semua, adalah sebuah kebahagiaan. Perubahan besar apakah

yang dilakukan santri? Mereka adalah didikan mulia Hadratussyaikh KH.

Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Wahid Hasyim dan lainnya.

Percikan cahaya langit seperti apa yang mengubah santri yang katanya

“moderat dan kompromistis” menjadi gerakan revolusioner dan radikal,

menjebol tembok besar imperialisme. Sebagaimana kata sejarawan Thomas

Carlyle, ”And I said thegreat man always act like a thunder. He stormed the sky,

while other are waiting to be stormed.”

Tekad membela agama dan Tanah Air Indonesia yang dipicu oleh Resolusi

Jihad 1945, kemudian diperkuat lagi dengan Pidato Hadratussyaikh KH.

Hasyim Asy’ari, pada Pembukaan Muktamar NU ke-16 dan yang pertama

setelah perang, pada 26- 29 Maret 1946 di Purwokerto, “… Sesungguhnya

pendirian umat adalah bulat untuk mempertahankan kemerdekaan dan

membela kedaulatannya dengan segala kekuatan dan kesanggupan yang ada

pada mereka, tidak akan surut seujung rambut pun.”

Deklarasi Resolusi Jihad 21-22 Oktober 1945 merupakan kelanjutan gerakan

dari hasil pertemuan Bung Karno dengan Hadratussyaikh K.H Hasyim

Asy’ari. “Resolusi itu menunjukkan bahwa NU (Nahdlatul Ulama) mampu

menampilkan diri sebagai kekuatan radikal yang tak disangka-sangka dalam

sejarah,” kata Martin Van Bruinessen. Maka dari itu, berkobarlah Pidato Bung

Tomo di bumi Surabaya, “Dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek

usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!” AllahuAkbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar! Santri dan rakyat bersatu takkan bisa

dikalahkan. Gerak melawan penjajah NICA adalah fardu ‘ain. Setiap nyawa

200.000 yang wafat, air mata yang tertumpah hanyalah cinta Indonesia, Tanah

Air dan tumpah darah kita.

Sebuah kisah negeri yang teraniaya, terjarah dan terjajah dari masa ke masa.

Do’a, dan cinta Hadratussyaikh terhadap bangsanya takkan pernah luntur dan

surut seujung rambut pun. Resolusi Jihad NU adalah jawabannya. Karena

perlawanan kepada penjajah dan penjarah bangsa adalah perintah agama.

Inilah yang membangkitkan nasionalisme rakyat dan ummat Islam Indonesia.

Semangat menjemput kematian, syahid dalam melawan penjajah, terpatri di

jiwa generasi terkini. Belajar dari generasi pendahulu, baginya kematian

adalah obyek kesadaran. Kematian membuat hati jadi lapang seperti manusia

shaleh dalam sejarah.

WHAT I’VE DONE?

Sedih juga, sekian lamanya perjuangan kiai dan santri tidak masuk buku

pelajaran sejarah. Bahkan, ngga’ ada dalam cerita level anak-anak TK/SD.

Bahkan tidak ada di materi kuliah mahasiswa. Tragis memang. Propaganda

hitam dan kesunyian perjuangan santri harus dikubur bersama waktu hingga

berakhirnya dunia. Monumental history, sebuah perjuangan kiai- santri harus

dihilangkan dalam peta bumi republik, layaknya usaha untuk membunuh

nyamuk menghabiskan energi kalau perlu dengan belati. Apalagi dengan

kelakuan jahat Trans TV yang jancuk !

Sungguh benar ucapan filsuf Socrates dalam buku berjudul Republic, sungguh

mendebarkan, bagaimana caranya membangun mentalitas para pengawal

negara,“….Tugas kita yang utama adalah mengawasi fabel dan legenda serta

menolak semua yang tidak memuaskan.” Demi mencetak karakter anak- anak

dan putra bangsa, “…Harus kita perintahkan seluruh ibu dan inang pengasuh

agar menceritakan dongeng-dongeng yang telah kita setujui saja.”Sekecil apa pun peristiwa hidup apalagi sejarah perjuangan kiai dan santri itu

wajib ditulis dan dikisahkan kepada anak cucu. Siapa yang dapat menulis

kisahnya sendiri, ia tidak akan lekang dan sirna di makan zaman dan cuaca.

Kisahnya terus abadi menjadi warisan berharga dan bintang penuntun bagi

generasi berikutnya yang mewarnai kehidupan bangsa, anak-cucu, murid dan

kader-kadernya. Maka dari itu, benar juga apa yang disampaikan filsuf Soren

Kierkegaard, “Seorang tiran mati dan kekuasaannya berakhir. Ketika sang

martir gugur ke bumi, kisahnya baru dimulai.” Inilah kisah Resolusi Jihad 45

yang baru saja diakui dan dimulai. Kisah santri baru dimulai Bang Haji !

Kenang-kenanglah, kiai dan santri pernah dijadikan target operasi sadis Orde

Baru pimpinan Jenderal Soeharto. Kiai dan santri yang turut mendirikan

Indonesia, disingkirkan atas nama ideologi pembangunan ala kapitalisme

global. Mungkin Trans TV terinspirasi.

History doesn’t repeat itself, but it sure does rhyme, sejarah tak mengulangi

dirinya, tapi sungguh ia punya pola yang sama. Karena sesungguhnya, seperti

sejarah, justru saat kekuatan lahiriah melemah, tumbuh kekuatan akbar dari

kuasa batiniah kiai-santri yang sekian lama ditindas oleh struktur jahat

kekuasaan.

Di masa kini, setiap tanggal 22 Oktober, semua anak negeri bersuka cita, hari

santri diperingati di segala penjuru negeri. Kaum santri bangkit bersaksi di

desa-desa dan kota-kota besar. Jejak-jejak pengorbanan kiai-santri dalam

sejarah, dalam keabadian, dalam kisah Indonesia, selamanya.

Perjuangan Hadratussyaikh dan santri kini diakui negara, mengakui identitas

dan perjuangannya. Tak aneh jika Pemerintah mengeluarkan Keppres No. 22

Tahun 2015 yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri

Nasional. Keppres ini menjadi pengakuan sejarah atas komitmen kebangsaan

para santri mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan dan mewujudkan

cita-cita kemerdekaan Indonesia.

Tahukan kita cita-cita bangsa? Tentunya tahu betul! Ngga’ banyak, hanya 4

(empat), yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupanbangsa, menjaga ketertiban dunia berdasarkan perdamaian dan keadilan

sosial. Apa bisa diwujudkan cita-cita tersebut? Hanya Presiden Prabowo dan

anak buahnya yang bisa menjawabnya. Tentunya dengan senjata rahasianya

yaitu secangkir kopi. “Pria harus ngopi,” katanya 08.

MASA LALU=MASA KINI

“Kemarin sudah berlalu, kawan. Sekarang, saatnya mengatakan hal-hal baru.”

Demikian dawuh Sang sufi maulana Jalaluddin Rumi untuk kita.

Kita pernah baca buku judulnya Mossad yang ditulis oleh Dennis Eisenberg,

dikatakan bahwa bangsa Yahudi Israel berpegang dalam ayat-ayat

pergerakan, “Akan tiba waktunya bagi suatu negara kecil yang berdaulat, yang

lapisan pertahanannya adalah pengetahuan.” Kalimat yang dibuat oleh Charles

Proteus Steinmetz, ilmuwan Yahudi kelahiran Jerman, sungguh mengilhami

seluruh rakyat Israel hingga detik ini bisa jadi negara kuat dan digdaya. Bisa

jadi dia adalah Nabi palsu, karena nubuatnya itu, dengan ketepatan dan

mengejutkan dunia Islam dan Barat. Israel yang kuat hanya bisa diatasi

mentalitas Iran, bukan mentalitas Korea ala Bambang Pacul.

Adalah nyonya Golda Mayer, mantan Perdana Menteri Israel pertama dalam

memoarnya berjudul Malice, bercerita fase penting kehidupannya. Perempuan

itu harus bekerja keras, bergerak selama 16 jam sehari. Demi cita-citanya,

perjuangannya, prinsipnya ia lalui demi mewujudkan negara Yahudi, Israel

Raya. Sukses bener, menjadi negara hebat di muka bumi, bersama Ben Gurion.

Katanya sih, padahal dibombardir pasukan Ayatullah Ali Khamenei, mereka

keok dan angkat tangan juga! Ampunnn!

Begitu juga dengan Menteri Pertahanannya yang legendaris, bermata satu,

Moses Dayan namanya. Di bukunya berjudul The Sword and Rule, ia berkisah

harus terbang dari daerah satu ke daerah lain, kota, negara satu ke negara

lain, pagi siang dan malam. Secara sembunyi-sembunyi, bawah tanah, ataupun

terang-terangan bergerak demi cita-citanya. Ia ingin membentuk dan

memperkuat negara Israel. Ia setia dengan pergerakannya sebagai bangsa

Yahudi.Sayang sekali memang, orang seperti mereka, justru lebih bisa menunjukkan

keuletan dan tekadnya seperti ini. Sebaliknya kita semua, justru jadi pemalas,

tidar-tidur. Kita semua terlena, lalai, kaum milenial dan sebagai kaum

Muslimin dan Muslimat yang sama sekali tidak pernah berbuat apa pun, meski

satu jam saja. Kita semua larut dalam main-main, makan, minum, tidur dan

menghabiskan waktunya dengan sia-sia, percuma. “Waktu adalah pedang,”

demikian Sayyidina Ali, menantu Sang Nabi bertutur kepada kita.

Kita bangsa Indonesia telah kalah dengan tekad dan cita-cita orang Yahudi

kulit putih Eropa. Belum lagi kita kalah dengan bangsa Cina, India, Barat,

Rusia, Latin, Turki, Korsel, Iran dan bangsa lainnya dari langkah progresivitas

sejarah, terutama bidang medis, sains, teknologi dan ekonomi. Bahkan,

dibilang oleh sebagaian orang sebagai bangsa gagal (the failed state). Itulah

tantangan terbesar dan terberat di masa kini, era baru digital.

Bagaimana Indonesia di tangan Mr. Prabowo? Akan maju atau mundur

Indonesia Bang?

SIAPAKAH SEBENARNYA SANTRI?

Ulama pinisepuh KH. A. Mustofa Bisri (2016) pernah menyampaikan, bahwa

santri adalah siapa pun yang berakhlak, tawadhu’ kepada Allah Swt, sesama

manusia, serta melihat Tanah Air sebagai rumahnya. Gus Mus sapaan akrab

K.H A. Mustofa Bisri mengartikan siapa pun yang berakhlak, rendah hati,

mengamalkan nilai-nilai agama Islam yang santun adalah santri. Menghormati

yang tua dan mengayomi yang muda. Pun santri adalah ia yang dalam jiwanya

paling dalam tertanam semangat nasionalisme. Mencintai Tanah Air yang

menjadi tempat ia lahir dan disemayamkan kelak.

Jelas dan terang benderang perjuangan santri dalam berbangsa-bernegara,

tidak dapat diragukan lagi. Santri tidak hanya sibuk mengaji ilmu agama, ilmu

akhirat, tetapi juga terlibat dalam perjuangan fisik, mengusir penjajah,

menghalau penjarah bangsa dan merumuskan dasar negara, Pancasila. Santri

pun konsisten mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan

konsekuen, jadi working ideology.Santri mesti menjadi teladan dalam berlaku sejuk, damai dalam meniti

kebaikan. Berlaku adil, menjaga persatuan, ukhuwwah wathaniyyah,

ukhuwwah islamiyyah, dan ukhuwwah insaniyyah. Mampu bersaing dalam

berbagai disiplin ilmu modern. Santri harus memperkenalkan kepada dunia,

bahwa Pancasila tidak hanya diberlakukan sebagai haluan berbangsa-

bernegara, tetapi juga cahaya peradaban Indonesia untuk dunia. Santri jadi

pemersatu seluruh anak semua bangsa dari operasi siluman devide it impera.

Santri harus berkarya nyata menuju Indonesia Maju.

Di masa kini, terdapat 270.000 ribu lebih basis pesantren, yang harus

dikuatkan kembali di era kekinian. Karena pesantren adalah pembentuk

negara modern bernama nation state of Indonesia. Santri era kekinian harus

bertempur kembali menghadapi tantangan dan ancaman baru di tengah

raksasa-raksasa dunia baik dari Barat dan Timur. Belum lagi menghadapi

tantangan ekonomi umat dan krisis global. Bagaimana santri membangun

kemandirian dan berdikari menegakkan kepala dan bangsa di dalam

pergaulan dunia. Berat juga ya jadi santri! Yang pasti, santri di penjuru negeri

mesti berkarya, sebagai the inovator.

Misi santri masa kini seperti yang dilukiskan dalam metafora pakar sejarah

Arnold Toynbee,”Harus memberikan jawaban yang tetap pada tantangan yang

sudah berubah”. Makkk !

SANTRI SEDUNIA BERSATULAH!

Sahabat fillah dimana pun berada.

Di era digital ini, dunia pesantren sedang berada di antara patahan sejarah.

Santri kini bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga agen perubahan sosial,

teknologi, dan kemanusiaan. Mereka tidak cukup hanya ngaji kitab kuning,

tetapi juga perlu melek digital, memahami dinamika global, dan menjadi duta

Islam yang damai di dunia maya. Sebagaimana diungkapkan Gus Dur

(Abdurrahman Wahid) dalam bukunya “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”,

santri adalah penjaga moral bangsa.Gus Dur menulis bahwa pesantren adalah benteng kebudayaan dan

kemanusiaan yang melahirkan generasi penuh kasih, bukan kebencian. Di

tengah dunia yang mudah terpecah oleh politik identitas dan hoaks digital,

semangat Gus Dur menjadi sangat relevan: santri harus hadir sebagai penebar

damai, bukan pemecah belah bangsa kayak Trans TV!

Nurcholish Madjid dalam karya monumentalnya “Islam, Kemodernan, dan

Keindonesiaan” menegaskan bahwa Islam adalah agama kemajuan, bukan

hambatan bagi modernitas. Baginya, santri sejati adalah mereka yang terbuka

pada ilmu pengetahuan dan rasionalitas, tanpa kehilangan spiritualitas. Di era

kecerdasan buatan (AI) dan inovasi teknologi, semangat ijtihad intelektual

Cak Nur menjadi inspirasi agar santri berani berpikir kritis, kreatif, dan

berwawasan global.

Buya Syafii Maarif dalam bukunya “Islam dalam Bingkai Ke-Indonesiaan dan

Kemanusiaan” mengingatkan bahwa kecerdasan moral jauh lebih penting

daripada sekadar kecerdasan intelektual. Buya percaya, santri harus menjadi

intellectual moral force — kekuatan moral yang membimbing arah bangsa.

Dalam konteks santri kekinian, itu berarti menjaga etika di ruang digital,

berani jujur, dan berpihak pada kemanusiaan, bukan pada kepentingan politik

sesaat.

Jalaluddin Rakhmat, dalam bukunya “Meraih Cinta Ilahi” dan “Psikologi

Agama”, menekankan pentingnya spiritual intelligence (kecerdasan spiritual).

Ia mengajarkan bahwa ilmu tanpa kasih sayang akan kering, dan dakwah

tanpa empati akan kehilangan makna. Santri masa kini harus menjaga

keseimbangan antara intelektualitas dan kelembutan hati. Dunia digital boleh

serba cepat, tapi nilai-nilai santri tetap harus berakar pada cinta, adab, dan

akhlak. Empati adalah kompas psikologi bagi santri.

Nilai-nilai dari keempat Maha guru bangsa ini, Gus Dur, Cak Nur, Buya Syafii,

dan Kang Jalal sesungguhnya merupakan jantung peradaban pesantren.

Mereka mengajarkan bahwa santri sejati adalah yang mampu memadukan

iman, ilmu, dan amal, serta menebar manfaat lintas batas. Kini, dengan

hadirnya media sosial dan teknologi, santri bisa menjangkau dunia tanpa

batas. Hari ini, panggilan itu terasa makin kuat: Santri sedunia, bersatulah!Satukan langkah untuk menghadapi tantangan zaman dari krisis global

sampai genosida Palestina, dari dunia maya hingga dunia nyata. Dunia sedang

menunggu wajah Islam yang teduh, cerdas, dan menyejukkan. Wajah santri

yang bersatu dalam cinta ilmu dan kemanusiaan.

Saat ini adalah era revolusi digital, era medsos, abad yang beda dengan abad

19, abad 20, sebuah abad yang dibanjiri informasi. Tapi minus empati dan

kasih sayang kepada sesama, sebuah abad kemarahan (the age of anger)

seperti yang dipaparkan Pankaj Misra, penulis hebat dari India. Francis Lim

dalam Filsafat Teknologi yang saya pahami, bahwa ada kecenderungan anarkis

manusia saat ini, tidak sadar, abai, tega banget, katakanlah sadis alias kejam

tentang hubungannya dengan manusia yang lain, alam, bahkan dengan

Pencipta Alam. Manusia sudah dikendalikan teknologi, bukannya

mempermudah hidupnya, mengendalikan teknologi. Parah!

Kemajuan teknologi digunakan untuk menaklukkan isi dan makhluk semesta,

perang dan propaganda demi kehendak kuasa, bukan menebar cinta kasih

Tuhan dan memperkuat Indonesia. Lapar akan kenikmatan dan silau dengan

pernak-pernik cahaya teknologi yang memukau iman serta imun. Semakin

cangih zaman, tapi pikiran makin sempit, semakin barbar manusia-manusia

Israel contohnya.

Tahu kan bro dan sista tantangan dan ancaman kita terkini di era baru digital?

Kata Jared Cohen dan Eric Schmidt dalam Era Baru Digital,”bagaimana

peluang teknologi dan konektivitas akan melawan kekejaman, penderitaan

dan kehancuran dunia kita. Hal terbaik yang bisa kita lakukan ialah

mendorong konektivitas dan peluang teknologi untuk kemakmuran ekonomi,

HAM, pendidikan, dan keadilan sosial.”

Dengan senjata dzikir, pikir, dan amal saleh, itulah warisan terbesarnya para

Nabi, para revolusioner sebagaimana Hadratussyaikh, dan para santri. Di era

kekinian, sudah waktunya kita terjun di tengah masyarakat, memberikan

kesadaran baru tentang Indonesia yang kita impikan bersama-sama. Kita

buktikan cinta dan empati kita pada sesama. Melepaskan orang dari beban

kehidupan yang mengimpitnya dan membebaskan orang dari belenggu-belenggu yang memasung kebebasannya. Singsingkan lengan bajumu para

penikmat Kopi!

Cinta Tanah Air adalah sebuah keimanan, akidah, dan jihad. Marilah kita

resapi syair Kiai Wahab Hasbullah agar tetap macho, keren, dan ganteng

maksimal berbuat untuk negara-bangsa. “Wahai bangsaku, wahai bangsaku,

cinta Tanah Air bagian dari iman. Jangan kalian jadi orang terjajah. Wahai

bangsaku yang berpikir jernih, dan halus perasaaan. Kobarkan semangat,

jangan jadi pembosan.”

Sebuah pesan untuk generasi milenial, gen-Z dan umat Islam Indonesia

terkini, untuk selalu mencintai negeri. Kita serap dan ambil berkah para kiai

dan santri yang pernah berjuang mati- matian demi sebuah negeri yang bisa

kita nikmati hari ini dan nanti. Untuk anak-cucu antum.

Senantiasa sayang, marilah kita semua belajar hidup dari Hadratussyaih KH.

Hasyim Asy’ari, jalan hidupnya hanya untuk to pave the road to Allah. Meraih

kemuliaan dan kejayaan sebagaimana orang-orang mulia dalam panggung

sejarah. Hadratussyaikh Sang Kiai yang harum nama besarnya, menjulang

tinggi di angkasa raya. Manusia hebat beneran! Yang namanya tak sekedar ada

di baliho dan spanduk acara-acara Bung !

Sudah 80 Tahun bangsa kita merdeka, negara gini-gini aja, bahkan kedodoran

hadapi tantangan dan ujian misalnya bagaimana hadapi wabah corona.

Lihatlah Korsel maju, Barat, China, Jepang, India, Turki juga turut meraih

kemajuan. Kita harus maju dalam sejarah masa kini dan masa depan. Sesekali

para penyelenggara negara, baca bukunya Fareed Zakaria perihal pengalaman

negara-negara melawan pandemi.

Sayangnya, pejabat negara hanya tahunya baca buku rekening saja. Tentunya

dengan kontemplasi dan perjuangan menghadapi tantangan abad 21, semua

anak bangsa gotong royong memajukan Indonesia. Pejabat model beginian,

dibuang ke laut aja Bang! Karena mereka jadi parasit negara, jadi jamur rakyat

kayak di film Korea. Manusia dicengkeram kerakusan, kata Bang Iwan Fals.AKHIRUL KALAM

Hadratussyaikh adalah seorang ulama peduli umat dan bangsa serta

mempunyai pemikiran-pemikiran moderat. Artinya, sebagai ulama ia pasti

mempunyai umat yang harus diperhatikan dan diarahkan ke tujuan yang

seimbang atau moderat. Dan sebagai seorang yang dilahirkan di negeri ini, ia

mempunyai keinginan kuat untuk memperjuangkan cita-cita bangsa.

Kita semua wajib bersaksi, Hadratussyaikh, kiai, santri, dan pejuang negeri

yang turut menggerakkan Resolusi Jihad 45 bisa disimpulkan dengan tiga

kata, “Ia lahir, berjuang, dan syahid.” Bahwa the great man, manusia besar

selalu seperti halilintar yang membelah langit, dan manusia yang lain hanya

menunggu dia seperti kayu bakar.

Hadratussyaikh adalah sebuah contoh utama, teladan mulia di bumi pertiwi.

“Siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak

sedikit dari ihwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman serta apa yang

terjadi pada mereka. Hingga saat-saat kepunahannya akan mengetahui bahwa

kejayaaan yang menggelimangi mereka, kebanggaan yang mereka sandang.

Dan kemuliaan menjadi perhiasan mereka. Tidak lain adalah berkat apa yang

secara kukuh mereka pegangi, yaitu mereka bersatu dalam cita-cita, seiya-

sekata, searah setujuan, dan pikiran mereka seiring,” demikian dawuhnya.

Bangsa yang keren dan top markotop adalah bangsa yang mampu bersatu

padu mengayomi ribuan keragaman suku, budaya, etnik dan agama.

Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari telah mengajarkan kita bagaimana

melawan, walaupun mereka gajah, sedangkan kita hanya semut. Kita lawan

mereka dengan cara kita. Bahkan, bagaimana kancil menghadapi serigala,

semua sudah diajarkan tetua para kiai dan santri di masa penjajahan. Semua

tergantung diri kita saat ini. Jejak-jejakmu merahimi kebangkitan.

Selamat Hari Santri nasional, sebagaimana ucapan Karl Marx, dalam karya

pembuka Edward W. Said, Orientalism,

”They cannot represent themselves, they

must be represented.” Saatnya santri mempresentasikan diri mereka sendiri,

yang selama ini dipresentasikan orang lain dengan cara yang kurang tepat dan

tidak jelas. Santri tetap mencintai negeri, menggapai ridha ilahi. Karena santriadalah kita, untuk Indonesia. Saatnya santri berkarya kembali di era kekinian.

Negeri tercinta ini wajib kita warnai dengan passion, bakat, skill, inovasi,

kreativitas, dan cinta kita memajukan negara dan menjaga kemanusiaan.

Santri adalah kita, bangkit memajukan dan mencerahkan bangsa yang saat ini

dilanda wabah. Seperti maunya grup band Korea Blackpink: Light up the sky,

tentunya langit cerah Indonesia. Ngeri !

Akhirnya, saya tutup dengan puisi indah dari sang penyair celurit emas, Kiai

Zamawi Imron judulnya Tanah Air Sajadah: Karena Tanah Air adalah ibunda

kita/Siapa mencintainya jangan menodainya dengan dosa/Siapa

menghormatinya jangan mengotorinya dengan darah/Tanah Air adalah

sajadah/Tempat bersujud mengagungkan Allah.

Di zaman now, marilah kita kenang, walaupun dengan deg-degan, dengan

setia kobarkan apa yang dikatakan Ayahandanya Gus Dur, Kiai Wahid

Hasyim,”Membaca sejarah itu penting, tetapi membuat sejarah itu lebih

penting.”Cinta Tanah Air adalah bagian dari Iman. Yuk, lanjutkan Resolusi

Jihad 45, perjuangan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan santri, barisan

mujahidnya di zaman kekinian. Rabbi fanfa’na bibarkatihim wahdinal husna

bihurmatihim

Sruputan Secangkir kopi senja hari ini terasa agak beda,

ternyata lupa karena belum lantunkan Al-fatihah kepada Sang cinta.

Baca Lainnya

Kenapa Sejumlah Pensiunan TNI Bersemangat Mendesak Reformasi Polri?

19 Oktober 2025 - 11:48 WIB

Reformasi butuh Dua arah: Polri telah berbenah, sudahkah kita juga?

15 Oktober 2025 - 09:45 WIB

Dari Medan Tempur ke Medan Opini: Ketika Purnawirawan TNI Gagal Menjaga Etika Kenegaraan

11 Oktober 2025 - 05:17 WIB

Yang Berulah Siapa Yang Dihukum Siapa: Sebuah Ironi

1 Oktober 2025 - 15:34 WIB

Usut Tuntas Aksi Anarkis dan Pembakaran motor dan Mobil Dalam Aksi Demonstrasi di DPR

26 Agustus 2025 - 16:00 WIB

Trending di OPINI