PRABA INSIGHT-Di dunia perbuzzeran, nama M. Adhiya Muzakki mungkin tidak setenar akun-akun bayaran yang suka nyinyir tiap ada penegakan hukum.
Tapi jangan salah, di balik 150 akun itu, dialah jenderalnya. Dan sekarang, jenderal itu resmi dibekuk Kejaksaan Agung RI.
Kejagung menilai Adhiya bukan sekadar pengamat politik dadakan yang kebanyakan ngetik.
Ia dituduh sebagai dalang utama narasi-narasi jahat yang menyerang kredibilitas Kejagung dalam mengungkap sejumlah kasus besar: korupsi PT Timah, impor gula, sampai ekspor minyak sawit (CPO).
Cara kerjanya rapi. Mirip operasi militer tapi versi digital. Ia membagi buzzer-nya dalam lima regu siber, total 150 orang, yang bertugas menyerang Kejagung di kolom komentar, utas Twitter, hingga reply Instagram.
Idenya sederhana: bikin gaduh, tabur kebencian, dan bikin publik ragu sama penegak hukum.
Dan semua ini tidak gratis. Sekali proyek, Adhiya disebut menerima bayaran Rp864,5 juta.
Duit itu diduga berasal dari advokat Marcella Santoso, disalurkan dua kali lewat staf keuangan kantor hukum AALF.
Dari Aktivis Milenial ke Tukang Goreng Opini
Yang bikin heran: Adhiya dulunya dikenal sebagai aktivis muda berprestasi. Ia adalah mantan Ketua Umum Badko HMI Jabodetabek-Banten (2021–2023).
Pernah juga bikin organisasi anak muda bernama Penggerak Milenial Indonesia (PMI). Cita-citanya? Katanya sih ingin memajukan demokrasi dan partisipasi generasi muda.
Sayangnya, partisipasi itu malah berbelok ke jalur gelap: menjadi ketua pasukan buzzer.
Entah kapan persisnya ia pindah haluan dari kader HMI jadi panglima perang digital.
Tapi yang jelas, pasukannya tak lagi demo di jalanan mereka kini demo di medsos, lewat komentar sarkas dan narasi pesanan.
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, tim yang dipimpin Adhiya ini benar-benar profesional.
Kompak menyerang, kompak dibayar. Dalam dunia buzzer, ini semacam dream team.
Opini Redaksi
Ini bukan sekadar penangkapan tukang komentar. Ini tentang bagaimana teknologi bisa dijadikan senjata untuk menggoyang kepercayaan publik pada institusi hukum.
Dan lebih parahnya lagi, senjatanya justru dibayar dari uang kotor.
Kalau kamu pikir buzzer cuma tukang ramein medsos, ingat satu hal: sekarang mereka bisa bikin persepsi publik berubah arah.
Dan di balik semua itu, ada ‘jenderal’ yang siap menjual narasi ke siapa saja asal bayarannya pas.