PRABA INSIGHT – Kasus kendaraan taktis (rantis) Brimob yang melindas seorang pengemudi ojek online hingga tewas akhirnya berujung pada pemecatan seorang perwira. Komandan Batalyon Resimen IV Korps Brimob, Kompol Cosmas Kaju Gae, alias Kompol K, resmi diberhentikan dengan tidak hormat.
Putusan itu keluar dari sidang etik Majelis Komisi Kode Etik Profesi Polri (KKEP) yang digelar di Gedung Transnational Crime Coordinating Center (TNCC) Polri, Rabu (3/9/2025). Kalimat resminya singkat saja: “Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai anggota Polri.” Tapi dampaknya jelas: karier panjang seorang komandan Brimob tamat di meja sidang.
Dari Rantis ke Kursi Sidang
Kisah tragis ini bermula 28 Agustus 2025 lalu. Sebuah rantis Brimob dengan nomor PJJ 17713-VII melaju di jalanan, dengan Kompol K duduk manis di kursi depan samping sopir, Bripka Rohmat (R). Nahas, kendaraan itu melindas Affan Kurniawan, pengemudi ojek online, hingga meninggal di tempat.
Sebagai orang yang duduk di kursi depan, Kompol K dianggap punya tanggung jawab besar. Dalam sidang, ia dinilai melakukan pelanggaran berat. Dan beratnya pelanggaran itu akhirnya membuat ia harus menanggung konsekuensi paling serius: dipecat dengan tidak hormat.
Bripka Rohmat, sang sopir, belum lolos dari jerat. Ia akan menghadapi sidang etik terpisah pada Kamis (4/9/2025).
Efek Domino: Lima Anggota Ikut Terseret
Tak berhenti di situ, lima anggota Brimob lain yang duduk di kursi belakang juga ikut diperiksa. Ada Aipda MR, Briptu D, Bripda M, Bharaka J, dan Bharaka YD, semuanya dari Satbrimob Polda Metro Jaya. Mereka disebut melakukan pelanggaran sedang. Sidang etik untuk kelimanya akan digelar setelah kasus Bripka R selesai.
Sorotan Publik dan Pertanyaan Besar
Kasus ini jelas bikin publik tercengang. Brimob, yang selama ini dikenal dengan citra gagah, malah terseret kasus yang memalukan: kendaraan taktis yang mestinya dipakai untuk operasi keamanan malah jadi alat maut di jalan raya.
Tak heran, sidang ini disorot ketat. Kompolnas hadir sebagai pengawas eksternal, menandakan tekanan agar proses etik berlangsung transparan.
Di luar ruang sidang, suara masyarakat sipil nyaring terdengar. Pertanyaan soal akuntabilitas aparat kembali menyeruak: kalau aparat yang mestinya melindungi malah bikin nyawa rakyat melayang, siapa yang sebenarnya harus kita percaya di jalanan? (Van)