PRABA INSIGHT- Polemik royalti musik dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) belakangan ini makin absurd. Kalau biasanya yang ribut itu pemilik kafe atau restoran karena harus bayar iuran buat lagu-lagu top 40 yang diputar di tempat mereka, kini giliran hotel syariah yang kena getahnya.
Kasus ini menimpa Hotel Grand Madani di Kota Mataram. Hotel yang identik dengan nuansa Islami itu mendadak harus menelan pil pahit: murotal yang biasanya mengalun lembut dari lobi pagi sampai maghrib ternyata ikut dihitung sebagai objek royalti. Dan angka yang keluar bukan recehan—Rp4,45 juta per tahun.
Alih-alih mendebat panjang, manajemen hotel memilih langkah aman: speaker langsung dimatikan.
“Untuk sementara kami hentikan dulu murotalnya. Kami menunggu sikap resmi dari asosiasi hotel. Kalau nanti diputuskan bayar, ya kami patuhi. Setelah itu baru kami putar lagi,” ujar Rega Fajar Firdaus, General Manager Hotel Grand Madani, dikutip dari Radar Lombok (18/8/2025).
Sunyi senyap di hotel syariah
Sejak surat tagihan itu turun, suasana hotel berubah total. Tidak ada musik, tidak ada murotal. Bahkan televisi di kamar pun ikut diperhitungkan dalam paket royalti.
“Hotel kami sekarang benar-benar hening. Padahal kami tidak tahu juga apa yang ditonton tamu di kamar,” tambah Rega.
Hitung-hitungannya begini: Grand Madani yang punya 59 kamar dikenai tarif royalti Rp4 juta, plus pajak 11 persen. Aturannya memang bersandar pada UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, yang mewajibkan semua pelaku usaha bayar royalti untuk penggunaan karya cipta di ruang publik—baik itu musik, TV, bahkan suara kicau burung rekaman sekali pun.
Masalahnya, murotal Al-Qur’an jelas bukan produk komersial. Apalagi bagi hotel syariah, lantunan ayat suci itu lebih ke identitas dan atmosfer, bukan hiburan yang dijual.
Asosiasi hotel ikut resah
Rega yang juga sekretaris Asosiasi Hotel Mataram (AHM) menyebut, persoalan ini bakal dibahas serius dalam rapat asosiasi Kamis depan. “Kami hentikan dulu semua bentuk pemutaran audio. Kalau ditanya, jelas kami keberatan. Apalagi yang dihitung itu murotal,” tegasnya.
Keresahan serupa dirasakan banyak pengusaha hotel lain di Mataram. Mereka menilai skema hitung-hitungan LMKN tidak nyambung dengan kondisi riil di lapangan.
DPRD pun ikut angkat suara
Tak hanya pengusaha, politisi pun angkat bicara. Sekretaris Komisi II DPRD Kota Mataram, H. Muhtar, menyebut kebijakan ini perlu ditinjau ulang.
“Ekonomi kita baru bangkit. Masa dengar Al-Qur’an saja dipajakin. Ini di luar logika,” keluh politisi Gerindra itu.
Muhtar menambahkan, sebelum memberlakukan kebijakan yang menyentuh langsung sektor usaha, LMKN seharusnya bikin kajian lebih matang. Jangan sampai aturan dipukul rata tanpa melihat konteks.
LMKN masih bungkam
Hingga berita ini ditulis, pihak LMKN melalui Humasnya, Issak Irwansyah, belum memberikan keterangan resmi. Publik kini menanti, apakah murotal di hotel syariah tetap masuk daftar royalti, atau ada pengecualian khusus untuk kasus semacam ini.
Kalau tidak ada kejelasan, bisa-bisa nanti setiap warung pecel lele yang pasang TV sinetron azan magrib pun ikut kena tagihan.
Penulis : Alma K | Editor : Ivan