PRABA INSIGHT – Minyak babi itu kayak mantan toxic: bikin kangen, tapi bahaya kalau dikonsumsi terus. Di satu sisi, dia jago banget bikin makanan jadi gurih paripurna. Di sisi lain, dia punya reputasi yang cukup buruk, baik di meja makan maupun di dalam tubuh.
Dalam dunia kuliner, minyak babi atau lard ibarat penyihir rasa. Nasi goreng babi, bakmi non-halal, lumpia goreng ala Medan semuanya bisa naik level kalau dimasak dengan sentuhan minyak babi. Bahkan croissant dan pie crust versi chef bule pun bisa jadi renyah banget karena pakai si minyak ini.
Tapi kelezatan itu ternyata nggak datang tanpa tagihan. Dan sayangnya, yang ditagih bukan kartu kredit, tapi jantung kita.
Beneran Jahat? Cek disini…
Menurut USDA FoodData Central, dalam 100 gram minyak babi terdapat:
45% lemak tak jenuh tunggal (monounsaturated fat)
39% lemak jenuh (saturated fat)
16% lemak tak jenuh ganda
Sekitar 1.000 IU vitamin D
0% kolesterol karena kolesterol hanya ditemukan dalam produk hewani utuh, bukan minyak hasil render.
Menariknya, proporsi lemak tak jenuhnya mirip-mirip sama minyak zaitun. Jadi kalau ada yang bilang minyak babi itu “jahat mutlak”, ya nggak juga.
Bahkan dalam takaran kecil, minyak babi bisa memberikan lemak baik dan vitamin D yang cukup tinggi.
Kata Harvard School of Public Health, lemak tak jenuh tunggal (seperti dalam minyak babi) berpotensi menurunkan risiko penyakit jantung. Tapi… (nah ini dia), tetap harus dalam jumlah wajar. Karena kalau nggak, yang turun bukan risiko, tapi umur.
Minyak babi bisa jadi penyebab kenaikan kolesterol LDL, tekanan darah tinggi, dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.
Apalagi kalau kamu goreng-gorengannya pakai teknik “minyak bekas lima kali leleh”. Waduh, itu udah bukan minyak babi lagi, tapi minyak neraka.
Menurut American Heart Association, konsumsi lemak jenuh sebaiknya tidak lebih dari 5-6% dari total kalori harian. Artinya, kalau kamu makan 2.000 kalori sehari, maksimal hanya sekitar 13 gram lemak jenuh. Padahal satu sendok makan minyak babi saja sudah sekitar 5 gram.
Belum lagi kalau kamu penggemar gaya hidup sedentari alias rebahan mulu. Wah, kombinasi sempurna menuju buncit dan nyeri dada mendadak.
Buat umat Muslim, minyak babi bukan cuma masalah kolesterol. Ini soal keimanan. Konsumsi babi, termasuk minyaknya, hukumnya haram.
Dan yang bikin banyak orang jengkel adalah ketika makanan yang katanya “halal”, ternyata digoreng pakai minyak babi tanpa keterangan jelas.
Beberapa kasus bahkan sampai naik ke media, seperti Ayam Goreng Kremes Widuran, bakpao isi ayam yang digoreng pakai minyak babi, atau restoran yang diam-diam “nambahin rasa” dari lemak babi. Lucu sih enggak, apalagi kalau udah kadung makan.
Makanya, penting banget untuk cek label, tanya langsung ke penjual, dan kalau perlu… bawa alat deteksi minyak babi (kalau udah secemas itu).
Minyak babi itu seperti bumbu rahasia yang bikin makanan jadi tak terlupakan. Tapi seperti semua kenikmatan duniawi, dia butuh kendali.
Makan boleh, asal tahu batas. Tapi kalau keyakinan melarang, ya jangan cari celah pakai dalih “yang penting enak”.
Dan buat kamu yang bukan Muslim atau vegetarian, jangan kebablasan juga. Ingat, badanmu bukan TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Isi yang baik-baik saja. Jangan cuma karena lidah senang, tubuh jadi sengsara.
Penulis : Yohanes MW | Editor : Wildan