PRABA INSIGHT- Menjadi jurnalis di Gaza itu bukan cuma soal menulis berita. Itu seperti menulis surat cinta di tengah badai peluru, dengan harapan suratnya sampai meski si penulisnya mungkin tidak.
Minggu malam, 10 Agustus 2025, tepat di depan Rumah Sakit al-Shifa, sebuah drone Israel mengirimkan paket kematian ke tenda media yang jelas-jelas bertuliskan “PRESS”. Tenda itu bukan tempat rapat wartawan yang membicarakan judul clickbait, melainkan ruang kerja darurat di tengah reruntuhan.
Hasilnya? Tujuh nyawa hilang, lima di antaranya pekerja Al Jazeera:
- Anas al-Sharif (28), jurnalis
- Mohammed Qreiqeh (33), koresponden
- Ibrahim Zaher (25), juru kamera
- Mohammed Noufal (29), juru kamera
- Moamen Aliwa (23), juru kamera
Plus satu reporter lepas, Mohammed Al-Khaldi, yang juga tak sempat menulis berita terakhirnya.
Hani al-Shaer, satu-satunya yang selamat, bilang: “Tenda itu jelas bertanda media.” Jadi kalau ini bukan serangan yang disengaja, kita harus percaya apa? Kebetulan semesta?
Daftar Duka yang Semakin Panjang
Ini bukan insiden pertama. Sebelumnya, Samer Abudaqa tewas saat meliput di Khan Younis, Hamza Dahdouh terkena rudal di awal 2024, lalu ada Ahmed al-Louh, Ismail al-Ghoul, Rami al-Rifi, hingga Hossam Shabat. Semua meregang nyawa di medan liputan. Di Gaza, kamera dan mikrofon tampaknya dianggap ancaman yang setara dengan senjata.
Angka yang Mengalahkan Perang Dunia
Menurut Costs of War Project Universitas Brown, jumlah jurnalis tewas di Gaza sejak Oktober 2023 lebih banyak daripada korban gabungan jurnalis di Perang Dunia I, II, Perang Korea, Perang Vietnam, konflik di Yugoslavia, dan perang Afghanistan setelah 9/11.
RSF menobatkan 2024 sebagai tahun paling mematikan bagi jurnalis: lebih dari 120 tewas di dunia, separuhnya di Gaza dalam delapan bulan.
Data Shireen.ps menunjukkan hampir 270 jurnalis dan pekerja media terbunuh dalam 22 bulan terakhir rata-rata 13 orang per bulan.
Perang yang Membunuh dan Membungkam
CPJ menegaskan, pembunuhan dan penahanan jurnalis menciptakan kekosongan informasi yang sempurna untuk menyembunyikan pelanggaran HAM. Pada Juni 2024, RSF, CPJ, dan berbagai media global mengeluarkan surat terbuka: jurnalis Palestina diburu hanya karena meliput.
Amnesty International menambahkan: Israel tidak hanya membunuh jurnalis, tapi juga mematikan fungsi jurnalisme itu sendiri. Dan di medan perang seperti ini, ketika saksi dibungkam, sejarah berubah jadi versi penguasa.
Di Gaza, peluru bukan hanya menghantam tubuh, tapi juga menghantam suara. Dan ketika suara itu hilang, dunia pun kehilangan cara untuk mengingat.
Penulis : Yohanes MW | Editor: Ivan