PRABA INSIGHT – Di tengah udara politik yang tak pernah benar-benar hening, publik kembali diguncang oleh kabar pelantikan Komjen Muhammad Iqbal sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (Sekjen DPD).
Ya, polisi aktif. Ya, jabatan sipil. Dan ya, ini kontroversial. Pelantikannya secara resmi dilakukan pada Senin, 19 Mei 2025, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 79 Tahun 2025.
Iqbal, yang dikenal sebagai lulusan Akpol 1991 dan terakhir menjabat sebagai Perwira Tinggi di Baharkam Polri, kini menduduki jabatan struktural di lembaga legislatif.
Dan seperti biasa, ketika ranah sipil disentuh oleh aparat aktif, riuh kritik pun tak bisa dihindari.
Antara Dalil Hukum dan Tafsir Filosofis
Politikus NasDem yang juga anggota Komisi III DPR, Rudianto Lallo, buru-buru pasang badan. Menurutnya, pelantikan Iqbal tak melanggar hukum.
Ia merujuk pada TAP MPR No. VII/2000 serta UU No. 2/2002 tentang Polri yang, katanya, membuka ruang bagi penugasan polisi aktif di luar institusi asalnya asal ada restu Kapolri dan jabatan itu masih nyambung dengan fungsi-fungsi kepolisian.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa secara konstitusional, Polri memiliki mandat pelayanan publik.
Jadi, jika ada jabatan di luar sana termasuk di DPD yang bisa dianggap selaras dengan misi itu, maka secara filosofis sah-sah saja.
Bahkan, dalam tafsir a contrario terhadap Pasal 28 ayat (3) UU Polri, jabatan seperti Sekjen DPD bisa dianggap masih berkaitan dengan kepolisian selama ada tugas resmi dari Kapolri.
Dalam bahasa politikus: selama niatnya sinergi dan demi bangsa, maka biarkanlah.
Namun, Kritik Datang Tak Kenal Pamit
Di sisi lain, tak sedikit yang bersuara nyaring menolak. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), misalnya, dengan tegas menyebut pelantikan Iqbal sebagai bentuk pelanggaran terhadap dua undang-undang sekaligus: UU Polri dan UU MD3.
Menurut Ketua Formappi Lucius Karus, Pasal 28 ayat (3) UU Polri sudah jelas menyatakan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di luar institusi setelah pensiun atau mengundurkan diri.
Sementara, UU MD3 juga tak kalah tegas: jabatan Sekjen DPD hanya untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dan, FYI, polisi aktif bukanlah PNS. Jadi, dari dua sisi: undang-undangnya tak cocok, status Iqbaliyahnya juga kurang pas.
Usman Hamid: Ini Soal Etika, Bukan Hanya Administrasi
Tak ketinggalan, Amnesty International Indonesia melalui Usman Hamid juga angkat bicara. Menurutnya, jabatan publik yang diisi aparat aktif berpotensi membahayakan prinsip sipil dalam demokrasi.
“Kalau belum pensiun atau mengundurkan diri, ya pelantikannya cacat,” tegas Usman.
Ia mengingatkan kembali pada TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 yang menjadi tonggak pemisahan fungsi TNI dan Polri pascareformasi.
Menurutnya, posisi sipil harus tetap steril dari unsur militer dan kepolisian aktif. Sebab, demokrasi hanya bisa tumbuh sehat di lahan yang bebas dari dominasi aparat.
Kantor Staf Presiden lewat Tenaga Ahli Ade Irfan turut mengusulkan jalan tengah: cuti dinas.
Dengan demikian, polisi yang ditugaskan ke ranah sipil tidak terjebak konflik kepentingan antara institusi asal dan posisi barunya.
Logika ini memang menarik, tapi tetap menyisakan pertanyaan: apakah sekadar cuti bisa menjamin netralitas?
Jabatan Itu Tidak Netral, Apalagi Kalau Rangkap
Kisah Komjen Iqbal ini bukan pertama kalinya polisi aktif masuk ke ranah sipil, dan mungkin juga bukan yang terakhir.
Tapi setiap kali itu terjadi, publik selalu bertanya: apakah ini soal kepercayaan personal atau justru pengabaian prinsip tata kelola pemerintahan yang baik?
Dalam demokrasi, posisi bukan sekadar kursi ia adalah simbol kepercayaan publik.
Maka ketika simbol itu diisi dengan status yang abu-abu, jangan salahkan publik kalau merasa curiga.
Penulis : Ivan