PRABA INSIGHT – ACEH – Ketika warga Aceh Tamiang sedang sibuk menahan napas menghadapi banjir yang makin menjadi-jadi, muncul satu sosok yang justru lebih “banjir” kebiadaban daripada air yang menggenangi rumah-rumah: seorang sopir truk berinisial S.
Bukannya ikut membantu warga yang sedang kesusahan, pria ini malah memanfaatkan situasi genting untuk melampiaskan nafsu jahatnya kepada seorang mahasiswi yang justru sedang mencari pertolongan. Di saat orang lain berjuang menyelamatkan diri, S malah sibuk menenggelamkan akal sehatnya sendiri.
Kejadian memilukan ini bermula ketika sang korban berusaha mengevakuasi diri dari kawasan yang terendam. Karena kendaraan biasa tak bisa menembus banjir, ia menumpang truk yang dikendarai S sebuah keputusan yang semestinya membawa keselamatan, bukan malapetaka.
Namun, harapan itu dijungkirbalikkan. Di tengah perjalanan evakuasi, S diduga melakukan kekerasan seksual terhadap korban. Situasi darurat yang seharusnya jadi ruang solidaritas malah dijadikan pelaku sebagai panggung kejahatan. Ironi level maksimal.
Kabar ini menyebar lebih cepat daripada arus banjir. Warga yang sudah lelah berjibaku dengan bencana tentu saja marah besar karena musibah alam ternyata masih kalah ganas dibandingkan ulah manusia.
Amarah massa pun meledak. S sempat jadi bulan-bulanan warga yang geram dan merasa kehormatannya diinjak-injak atas nama kemanusiaan.
Untung polisi bergerak cepat. Pelaku berhasil diamankan sebelum massa benar-benar kehilangan sabar. Tidak heroik, tapi setidaknya hukum masih punya kesempatan bekerja.
Kini S mendekam di tahanan. Polisi memastikan proses hukum berjalan tegas dan mengimbau warga untuk menyerahkan sepenuhnya kepada aparat.
Di sisi lain, perhatian utama diarahkan pada pemulihan trauma korban yang harus menanggung dua beban sekaligus: selamat dari bencana alam, tetapi harus menghadapi luka psikologis akibat kejahatan seksual.
Banjir bisa surut. Tapi luka seperti ini, proses pulihnya jauh lebih panjang.
Penulis : Ristanto | Editor : Ivan







